Sabtu, 11 April 2009

Asas Pengenaan Pajak di Indonesia

AZAS-AZAS PEMUNGUTAN PAJAK

Untuk mencapai tujuan pajak perlu memegang teguh azas-azas pemungutan dalam memilih alternatif pemungutannya. Sehingga terdapat keserasian pemungutan pajak dengan tujuan dan azas yang masih diperlukan lagi yaitu pemahaman atas perlakuan pajak tertentu.
Sedangkan tujuan dari adanya azas pemungutan pajak ini adalah untuk menjaga agar pemungutan pajak tidak mengganggu kemajuan ekonomi. Nmaun, dimungkinkan kebijaksanaan pemerintah justru dibuat untuk mempengaruhi konsumsi masyarakat,
Azas pemungutan pajak ini terbagi ke dalam beberapa bentuk, yaitu:



A. Azas yuridis
Menurut azas ini untuk menyatakan keadilan hukum pajak harus memberikan jaminan kepada negara atau warganya. Dengan kata lain, hukum pajak harus dapat memberikan jaminan hukum bagi tercapainya keadilan, dan jaminan ini diberikan kepada pihak-pihak yang tersangkut di dalam pemungutan pajak, yakni pihak fiscus dan wajib pajak. Oleh karena itu, pemungutan pajak harus didasarkan pada undang-undang. Landasan hukum pemungutan pajak di Indonesia adalah Pasal 23A Amandemen Undang-Undang Dasar 1945.
B. Azas Ekonomis
Perlu kita ingat bahwa pajak di samping mempunyai fungsi budgeter juga mempunyai fungsi mengatur. azas ekonomi ini lebih menekankan pada pemikiran bahwa negara menghendaki agar kehidupan ekonomi masyarakat terus meningkat. Untuk itu, pemungutan pajak harus diupayakan tidak menghambat kelancaran ekonomi sehingga kehidupan ekonomi tidak terganggu.
C. Azas Finansial
Berkaitan dengan hal ini, fungsi pajak yang terpenting adalah fungsi budgeternya, yakni untuk memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke dalam kas negara. Sehubungan dengan itu, agar hasil yang diperoleh besar, maka biaya pemungutannya harus sekecil-kecilnya.
Mengingat bahwa apajak merupakan pungutan paksa yang dilakukan oleh pemerintah, maka suatu pungutan pajak harus memenuhi azas-azas sebagai berikut:
 Azas legal, di mana setiap pungutan pajak harus didasarkan pada undang-undang. Dalam system perpajakan di Indonesia, (sebagaimana disebutkan sebelumnya, hal tersebut dinyatakan secara eksplisit dalam Pasal 23A UUD 1945 yang menyatakan bahwa: “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.
 Azas kepastian hokum, di mana ketentuan-ketentuan perpajakan tidak boleh menimbulkan keragu-raguan, kebingungan, harus jelas dan mempunyai satu pengertian sehingga tidak bersifat ambigius. Ketentuan pajak yang dapat ditafsirkan ganda akan menimbulkan celah-celah (loopholes) yang dapat dimanfaatkan oleh para penyelundup pajak.
 Azas efisien, di mana pajak yang dipungut dari masyarakat kemudian digunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan administrasi pemerintahan dan pembangunan. Oleh karena itu, suatu jenis pungutan pajak harus efisien, jangan sampai biaya pungutannya justru lebih besar apabila dibandingkan dengan hasil penerimaan pajak itu sendiri.
 Azas non-distorsi, yakni bahwa pajak harus tidak menimbulkan adanya distorsi di dalam masyarakat terutama distorsi ekonomi. Pengenaan pajak seharusnya tidak menimbulkan kelesuan ekonomi, mis-alokasi, sumber-sumber daya dan inflasi.
 Azas kesederhanaan, ini berarti bahwa aturan-aturan pajak harus dibuat secara sederhana sehingga mudah dimengerti baik oleh fiscus, maupun wajib pajak, sebagai pihak-pihak yang terkait dalam hubungan pajak.
 Azas adil, berarti bahwa alokasi beban pajak pada berbagai golongan masyarakat harus mencerminkan keadilan. Mengenai hal ini dapat dilihat dari: kemampuan membayar dari wajib pajak (ability to pay), dan prinsif benefit (benefit principle).
D. Azas Rechsfilosofis (Falsafah hukum)
Azas ini mencari dasar pembenaran terhadap pengenaan pajak oleh negara. Pertanyaan mendasar yang ingin dicari jawabannya dari azas ini adalah: “Mengapa negara mengenakan pajak terhadap rakyat?” atau “Atas dasar apa Negara menpunyai kewenangan memungut pajak dari rakyat?”.
Terhadap permasalahan ini ada beberapa jawaban yang ada di dalam beberapa teori:
 Teori asuransi
Dalam teori asuransi diperlukan pembayaran premi. Premi tersebut dimaksudkan sebagai pembayaran atas usaha melindungi orang dari segala kepentinngannya, misalnya keselamatan atau keamanan harta bendanya. Teori asuransi ini menyamakan pembayaran premi dengan pembayaran pajak. Walaupun kenyataannya menyatakan dengan premi tersebut tidaklah tepat. Dan karena mengandung banyak kelemahan teori ini ditinggalkan.
 Teori kepentingan.
Pada teori kepentingan ini memperhatikan beban pajak yang harus dipungut dari masyarakat. Pembebanan ini harus didasarkan pada kepentingan setiap orang pada tugas pemerintah termasuk perlindungan jiwa dan hartanya. Oleh karena itu, pengeluaran negara untuk melindunginya dibebankan kepada masyarakat.
 Teori kewajiban pajak mutlak/Teori bakti
Teori ini berdasarkan pada negara mempunyai hak mutlak untuk memungut pajak. Di lain pihak, masyarakat menyadari bahwa pembayaran pajak sebagai suatu kewajiban untuk membuktikan tanda baktinya terhadap negara. Dengan demikian dasar hukum pajak terletak pada hubungan masyarakat dengan negara
 Teori daya beli
Dalam teori ini berdasarkan bahwa penyelenggaraan keoentingan masyarakat yang dianggap sebagai dasar keadilan pemungutan pajak yang bukan kepentingan individu atau negara, sehingga lebih menitikberatkan pada fungsi mengatur.
 Teori pembenaran pajak menurut Pancasila
Pancasila mengandung sifat kekeluargaan dan gotong royong. Gotong royong dalam pajak tidak lain daripada pengorbanan setiap anggota keluarga (masyarakat) untuk kepentingan bersama tanpa mendapatkan imbalan. Jadi menurut Pancasila pungutan pajak dapat dibenarkan karena pembayaran pajka dipandang sebagai uang yang tidak keluar dari lingkungan masyarakat tempat di mana wajib pajak hidup. Jadi, akhirnya untuk diri sendiri, untuk kesejahteraan sendiri, dan untuk masyarakat sendiri.

AZAS-AZAS PENGENAAN PAJAK

Azas pengenaan pajak ini mencari jawaban atas permasalan siapa/pemerintah negara mana yang berwenang memungut pajak terhadap suatu sasaran pajak tetentu. Dalam hal ini pembicaraan menyangkut yurisdiksi dari suatu negara, berhadapan dengan negara lain. Terhadap permasalahan tersebut ada beberapa jawaban sebagai berikut:

A. Azas Nasionalitas
Pengenaan pajak dihubungkan dengan suatu negara. Jadi, pemajakan dilakukan oleh negara asal wajib pajak. Yang dikenakan pajak adalah semua orang yang berkewargaan negara tersebut, tanpa memandang tempat tinggalnya.

B. Azas Domicili
Negara-negara mempunyai hak untuk memungut atas seluruh penghasilan Wajib Pajak berdasarkan tempat tinggal Wajib Pajak. Wajib Pajak yang bertempat tinggal di Indonesia dikenai pajak atas penghasilan yang diterima ataupun diperoleh, yang berasal baik dari dalam maupun luar Indonesia (Pasal 4 Undang-undang Pajak Penghasilan).

C. Azas Sumber
Azas negara sumber mendasarkan pemajakan pada tempat di mana sumber itu berada, seperti adanya suatu perusahaan, kekayaan, atau tempat kegiatan di suatu negara. Dengan demikian Wajib Pajak menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia dikenakan pajak di Indonesia tanpa memperhatikan tempat tinggal si Wajib Pajak.

FUNGSI PAJAK

Sebagaimana telah diketahui ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak dari berbagai definisi, terlihat adanya dua fungsi pajak yaitu:

1. Fungsi Penerimaan (Budgeteir)
Pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran pemerintah. Sebagai contoh yaitu dimasukkannya pajak dalam APBN sebagai penerimaan dalam negeri.

2. Fungsi Mengatur (Reguler)
Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan di bidang sosial dan ekonomi. Sebagai contoh, yaitu dikenakannya pajak yang lebih tinggi terhadap minuman keras, dapat ditekan. Demikian pula terhadap barang-barang mewah.

UTANG PAJAK DAN STELSEL PEMUNGUTAN PAJAK

Pengertian Utang Pajak
Menurut Rochmat Soemitro, utang pajak adalah utang yang timbulnya secara khusus karena negara (kreditur) terikat dan tidak dapat memilih secara bebas siapa yang akan dijadikan debiturnya, seperti dalam hokum perdata. Hal ini terjadi karena utang pajak lahir karena undang-undang.

Ajaran-Ajaran Mengenai Timbulnya Utang Pajak
Mengenai cara dan saat lahirnya utang pajak dikenal adanya dua ajaran, yakni ajaran formal dan ajaran material.
Utang pajak menurut ajaran material, timbul dengan sendirinya karena pada saat yang ditentukan oleh undang-undang sekaligus dipenuhi syarat subjek dan syarat objek. “Dengan sendirinya” artinya bahwa untuk timbulnya utang pajak itu tidak diperlukan campur tangan atau perbuatan dari pejabat pajak, asal syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang telah dipenuhi.
Adapun menurut ajaran formal, utang pajak timbul karena undang-undang pada saat-saat dikeluarkan Surat Ketetapan Pajak oleh Direktur Jenderal Pajak. Dalam hal ini lahirnya utang pajak terjadi karena undang-undang sebagai akibat perbuatan manusia, yakni perbuatan dari aparatur pajak untuk mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak. Jadi, selama belum ada Surat Ketetapan Pajak, maka belum ada utang pajak dan tidak akan dilakukan penagihan walaupun syarat subjek dan syarat objek telah dipenuhi bersamaan.

Stelsel Pemungutan Pajak
Cara pemungutan pajak dilakukan berdasarkan tiga jenis stelsel, yaitu:
 Stelsel nyata (riil stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan) yang nyata, sehingga pemungutannya baru dapat dilaksanakan pada akhir tahun pajak, yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya telah dapat diketahui. Kelebihan stelsel ini adalah vpajak yang dikenakan lebih realistis. Kelemahannya adalah pajak baru dapat dikenakan pada akhir periode (setelah penghasilan riil diketahui)
 Stelsel anggapan (fictive stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-undang, sebagai contoh, penghasilan satu tahun dianggap sama dengan tahun sebelumnya sehingga pada awal tahun pajak telah dapat ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan. Kelebihan stelsel ini adalah pajak yang dibayar selama tahun berjalan, tanpa harus menunggu akhir tahun. Kelemahannya adalah pajak yang dibayar tidak berdasarkan pada keadaan yang sesungguhnya.
 Stelsel campuran
Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dengan stelsel anggapan. Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan. Kemudian pada akhir tahun besarnya apajak disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya. Apabila besarnya pajak menurut menurut kenyataan lebih besar dari pada pajak menurut anggapan, maka si Wajib Pajak harus menambah kekurangannya. Demikian pula sebaliknya, apabila lebih kecil maka kelebihannya dapat diminta kembali.

Sistem/Cara Pemungutan Pajak
Sistem pemungutan pajak dapat dibagi menjadi:
o Official assessment system
Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiscus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang.
Ciri-ciri sistem ini adalah:
1. Wewenang untuk menentukan besarnya apjak terutang berada pada fiscus
2. Wajib Pajak bersifat pasif
3. Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiscus

o Self assessment system
Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar.
Ciri-ciri dari system ini adalah:
1. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada wajib pajak sendiri.
2. Wajib pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang
3. Fiscus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.

o With holding system
Sistem ini merupakan system pemungutan pajak memberi memberi wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.

Dasar Hapusnya Utang Pajak
Di dalam Hukum Perdata, mengenai hapusnya perikatan diatur di dalam Pasal 1381 KUHPerdata.Adapun penyebab hapusnya utang pajak tersebut adalah:
1. Pembayaran.
2. Penawaran pembayaran yang diikuti dengan penitipan
3. Pembaharuan utang
4. Kompensasi utang
5. Percampuran utang
6. Pembebasan utang
7. Musnahnya barang yang terutang
8. Pembatalan, atau batal demi hukum
9. Dipenuhi syarat batal
10. Daluarsa.


3 komentar:

Bang Aan mengatakan...

wah eke kagak ngarti pajak mas...

Permana Andika mengatakan...

pasal berapa aj yang digunain di stelsel nyata, anggapan, maupun campuran.,??

Unknown mengatakan...

Cukup lengkap

Posting Komentar

Terima Kasih Atas Kunjungan Anda. Silahkan Tinggalkan Komentar, Kritik dan Sarannya

  © Blogger templates Shiny by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP