Senin, 04 Mei 2009

PPh dan Zakat

PENDAHULUAN

Pajak menurut ahli keuangan adalah kewajiban yang ditetapkan kepada wajib pajak, yang harus disetor kepada negara sesuai ketentuan, tanpa mendapat prestasi kembali dari negara dan hasilnya digunakan untuk kepentingan-kepentingan umum di satu pihak dan untuk merealisir sebagian tujuan ekonomi, sosial, politik dan tujuan-tujuan lain yang ingin dicapai oleh negara pada sisi yang lain.
Zakat menurut ahli fiqh ialah hak tertentu yang diwajibkan Allah SWT tehadap harta kaum muslimin yang diperuntukkan bagi mereka, yang dalam al-Qur’an disebut mustahik, sebagai tanda syukur kepada Allah, sebagai upaya pendekatan diri padaNya, dan untuk membersihkan hartanya.


Pajak penghasilan (PPh) sebelum perubahan perundang-undangan perpajakan tahun 1983 diatur dalam beberapa ketentuan perundangan-undangan atau ordonansi seperti yang dikenal dengan pajak pendapatan orang pribadi yang dipungut berdasarkan Ordonansi Pajak pendapatan Tahun 1984 dan pajak perseroan yang diatur dalam Ordonansi Pajak Perseroan Tahun 1925 serta pajak atas bunga, dividend an royalty yang diatur dalam undang-undang Pajak atas Bunga, Dividend an Royalti tahun 1970.
Selanjutnya sejak tahun 1984 Pajak Penghasilan dipungut berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang pajak penghasilan (PPh). Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 untuk ketiga kalinya diubah pada tahun 2000 dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 yang diberlakukan per 1 Januari 2001 digunakan sebagai Dasar Hukum Pemungutan Pajak Penghasilan merupakan perpaduan dari beberapa ketentuan yang sebelumnya diatur secara terpisah.
Ditinjau dari sudut pandang ekonomi, pajak merupakan penerimaan Negara yang digunakan untuk mengarahkan masyarakat menuju kesejahteraan . Bila ditinjau dari tujuannya, pajak dan zakat memiliki tujuan yang sama, yaitu dalam rangka mensejahterakan masyarakat.

A. PAJAK PENGHASILAN (PPh)
Ditinjau dari sudut pandang ekonomi, pajak merupakan penerimaan Negara yang digunakan untuk mengarahkan masyarakat menuju kesejahteraan. Dapat dikatakan bahwa pajak merupakan motor penggerak kehidupan perekonomian masyarakat.
Tetapi tidak dipungkiri bahwa perekonomian masyarakat memerlukan adanya peran pemerintah di dalamnya. Dan peran pemerintah tersebut akan berjalan lancar bila ada pajak guna membiayai seluruh pergerakan ekonomi walaupun tidak semua pergerakan ekonomi dibantu oleh pajak saja.
Dalam lingkup kehidupannya, manusia hidup bersama-sama dan saling membutuhkan satu sama lain di dalam masyarakat, dimana untuk tataran yang begitu besar terjelma dalam suatu wadah Negara. Dalam organisasi seperti itu dibutuhkan adanya sarana dan prasarana yang mendukung kelangsungan hidup rakyat beserta Negara itu sendiri.
Salah satu prasarana yang dibutuhkan masyarakat adalah prasarana ekonomi. Prasarana ekonomi berkaitan erat dengan pertumbuhan ekonomi suatu Negara. Tanpa pertumbuhan ekonomi, Negara tidak dapat meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Demikian pula, tanpa pajak serta kesadaran membayar pajak pemerintah tidak dapat meningkatkan prasarana ekonomi.


a. Sejarah Pajak Penghasilan (PPh)
Pajak penghasilan sebenarnya sudah ada sejak zaman Romawi Kuno, antara lain dengan adanya pungutan yang bernama tributum yang berlaku sampai dengan tahun 167 SM. Pengenaan pajak-pajak penghasilan secara eksplisit diatur dalam suatu Undang-undang sebagai Income Tax, baru ditemukan di Inggris pada tahun 1799. Di Amerika Serikat, pajak penghasilan untuk pertama kali dikenal di New Plymouth pada tahun 1643, dimana dasar pengenaan pajak adalah " a person's faculty, personal faculties and abilitites", Pada tahun 1646 di Massachusett, dasar pengenaan pajak didasarkan pada "returns and gain". “Tersonal faculty and abilities" secara implisit adalah pengenaan pajak pengahasilan atas orang pribadi, sedangkan "Returns and gain" berkonotasi pada pajak penghasilan badan. Tonggak-tonggak penting dalam sejarah pajak di Amerika Serikat adalah Undang-Undang Pajak Federal tahun 1861 yang selanjutnya telah beberapa kali mengalami tax reform, terakhir dengan Tax Reform Act tahun 1986. Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan (tax return) yang dibuat pada tahun 1860-an berdasarkan Undang-Undang Pajak Federaltersebut telah dipergunakan sampai dengan tahun 1962.
Di Indonesia sendiri, sejarah PPh dimulai dengan adanya tenement tax (huistaks) pada tahun 1816, yakni sejenis pajak yang dikenakan sebagai sewa terhadap mereka yang menggunakan bumi sebagai tempat berdirinya rumah atau bangunan. Pada periode sampai dengan tuhun 1908 terdapat perbedaan perlakuan perpajakan antara penduduk pribumi dengan orang Asia dan orang Eropa, dengan kata lain, bahwa terdapat banyak perbedaan dalam perlakuan perpajakan. Tercatat beberapa jenis pajak yang hanya diperlakukan kepada orang Eropa seperti "patent duty". Sebaliknya, business tax untuk orang pribumi. Di samping itu, sejak tahun 1882 sampai tahun 1916 dikenal adanya Poll Tax yang pengenaannya berdasarkan status pribadi, pemilikan rumah dan tanah.
Pada tahun 1908 terdapat Ordonansi Pajak Pendapatan yang diperlakukan untuk orang Eropa, dan badan-badan yang melakukan usaha bisnis tanpa memperhatikan kebangsaan pemegang sahamnya. Dasar pengenaan pajaknya penghasilan yang berasal dari barang bergerak maupun barang tak gerak, penghasilan dari usaha, penghasilan pejabat pemerintah, pensiun dan pembayaran berkala. Tarifnya bersifat proporsional dari 1%, 2% dan 3% atas dasar kriteria tertentu.
Selanjutnya, tahun 1920 dianggap sebagai tahun unifikasi, dimana dualistik yang selama ini ada, dihilangkan dengan diperkenalkannya General Income Tax yakni Ordonansi Pajak Pendapatan yang diperbaharui tahun 1920 yang berlaku baik bagi penduduk pribumi, orang Asia maupun orang Eropa. Dalam Ordonansi Pajak Pendapatan ini telah diterapkan asas-asas pajak penghasilan yakni asas keadilan domisili dan asas sumber.
Karena desakan kebutuhan dengan makin banyaknya perusahaan yang didirikan di Indonesia seperti perkebunan-perkebunan, pada tahun 1925 ditetapkanlah Ordonansi Pajak Perseroan tahun 1925 (Ordonantie op de Vennootschapbelasting) yakni pajak yang dikenakan terhadap laba perseroan, yang terkenal dengan nama PPs (Pajak Perseroan). Ordonansi ini telah mengalami beberapa kali perubahan dan penyempurnaan antara lain dengan UU No. 8 tahun 1967 tentang Penisbahan dan Penyempurnaan Tatacara Pemungutan Pajak Pendapatan1944, Pajak Kekayaan 1932 dan Pajak Perseroan tahun 1925 yang dalam praktek lebih dikenal dengan UU MPO dan MPS. Perubahan penting lainnya adalah dengan UU No. 8 Tahun 1970 dimana fungsi pajak mengatur/regulerend dimasukkan ke dalam Ordonansi PPs 1925., khususnya tentang ketentuan "tax holiday". Ordonasi PPs 1925 berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 1983, yakni pada saat diadakannya tax reform, Pada awal tahun 1925-an yakni dengan mulai berlakunya Ordonansi Pajak Perseroan 1925 dan dengan perkembangan pajak pendapatan di Negeri Belanda, maka timbul kebutuhan untuk merevisi Ordonansi Pajak Pendapatan 1920, yakni dengan ditetapkannnya Ordonasi Pajak Pendapatan tahun 1932 (Ordonantie op de Incomstenbelasting 1932, Staatsblad 1932, No.111) yang dikenakan kepada orang pribadi (Personal Income Tax). Asas-asas pajak penghasilan telah diterapkan kepada penduduk Indonesia; kepada bukan penduduk Indonesia hanya dikenakan pajak atas penghasilan yang dihasilkannnya di Indonesia; Ordonansi ini juga telah mengenal asas sumber dan asas domisili.
Dengan makin banyak perusahaan-perusahaan di Indonesia, maka kebutuhan akan mengenakan pajak terhadap pendapatan karyawan perusahaan muncul. Maka pada tahun 1935 ditetapkanlah Ordonansi Pajak Upah (loonbelasting) yang memberi kewajiban kepada majikan untuk memotong Pajak Upah/gaji pegawai yang mempunyai tariff progresif dari 0% sampai dengan 15%. Pada zaman Perang Dunia II diperlakukan Oorlogsbelasting (Pajak Perang) menggantikan ordonansi yang ada dan pada tahun 1946 diganti dengan nama Overgangsbelasting (Pajak Peralihan). Dengan UU Nomor 21 tahun 1957 nama Pajak Peralihan diganti dengan nama Pajak Pendapatan tahun 1944 yang disingkat dengan Ord. PPd. 1944. Pajak Pendapatan sendiri disingkat dengan PPd. Saja. Ord. PPd. 1944 setelah beberapa kali mengalami perubahan terutama dengan perubahan tahun 1968 yakni dengan adanya UU No. 8 tahun 1968 tentang Perubahan dan Penyempurnaan Tatacara Pemungutan Pajak Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932 dan Pajak Perseroan 1925, yang lebih terkenal dengan "UU MPO dan MPS". Perubahan lainnya adalah dengan UU No. 9 tahun 1970 yang berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 1983, yakni dengan diadakannya tax reform di Indonesia . Selanjutnya sejak tahun 1984 Pajak Penghasilan dipungut berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang pajak penghasilan (PPh). Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 untuk ketiga kalinya diubah pada tahun 2000 dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 yang diberlakukan per 1 Januari 2001.



b. Ruang Lingkup Pajak Penghsilan (PPh)
Pajak penghasilan ditinjau dari segi pemungutannya dikategorikan sebagai pajak pusat, tetapi ditinjau dari sifatnya, termasuk pajak subjektif. Jadi, kewenangan pemungutannya berada pada pemerintah pusat dan pengenaannya berdasarkan pada diri orang atau badan yang dikenai pajak. Pajak penghasilan merupakan salah satu pajak langsung, maka beban pajak tersebut menjadi tanggungan wajib pajak yang bersangkutan dalam arti bahwa beban pajak tersebut tidak boleh dilimpahkan kepada pihak lain dengan cara memasukan beban pajak dalam kalkulasi harga jual. Pemungutan Pajak Penghasilan dilakukan secara periodik terhadap kumpulan penghasilan yang diperoleh atau diterima oleh wajib pajak dalam satu tahun pajak.
Pajak Penghasilan merupakan salah satu sumber penerimaan Negara yang berasal dari pendapatan rakyat, dimana pemungutannya telah diatur dengan undang-undang sehingga dapat memberikan kepastian hukum. Pajak Penghasilan sebelum perubahan perundang-undangan perpajakan tahun 1983 diatur dalam beberapa ketentuan perundang-undangan/ordonansi seperti yang dikenal dengan Pajak Pendapatan orang pribadi yang dipungut berdasarkan Ordonansi Pajak Pendapatan Tahun 1944 dan Pajak Perseroan yang diatur dalam Ordonansi pajak Perseroan Tahun 1925, serta Pajak Atas Bangunan, dividen an royalty yang diatur dalam Undang-Undang Pajak atas Bunga, Dividen an Royalti Tahun 1970.
Selanjutnya sejak tahun 1984 Pajak Penghasilan dipungut berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Dalam sejarah perkembangannya pada undang-undang ini dilakukan perubahan pada tahun 1991 dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991, tahun 1994 dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, dan yang terakhir dilakukan perubahan pada tahun 2000 dengan Undang-undang nomor 17 Tahun 2000 .


c. Subjek Pajak Penghasilan
Subjek pajak diartikan sebagai orang yang dituju oleh undang-undang untuk dikenakan pajak. Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subjek Pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam Tahun Pajak.
Pengertian Subjek Pajak meliputi orang pribadi, warisan yang belum terbagai sebagai satu kesatuan, badan dan bentuk usaha tetap, sebagai berikut :
1. Orang Pribadi
Orang pribadi sebagai Subjek Pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia ataupun diluar Indonesia.
2. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggatikan yang berhak
Warisan yang belum terbagi dimaksud merupakan Subjek Pajak pengganti menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris. Masalah penunjukkan warisan yang belum terbagi sebagia Subjek Pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tetap dapat dilaksanakan.
3. Badan
Pengertian badan mengacu pada Undang-undang KUP, bahwa badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha yang meliputi Perseroan Terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama atau bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pension, persekutuan, perkumpulan yayasan, organisasi massa, organisasi social politik, atau organisasi sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap dan badan lainnya. Dalam hal ini termasuk reksadana. BUMN atau BUMD sebagai Subjek Pajak tanpa memperhatikan nama dan bentuknya. Sebagai contoh lembaga atau badan yang dimiliki Pemerintah Pusat atau Daerah yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan untuk memperoleh penghasilan. Khusus masalah perkumpulan sebagai subjek pajak adalah perkumpulan yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan untuk memperoleh penghasilan atau memberikan jasa kepada anggota. Perkumpulan mencakup pula asosiasi, persatuan, perhimpunan atau ikatan dari pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang sama.
4. Bentuk Usaha Tetap
Yang dimaksud dengan bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau badan yang tidak di dirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia. Bentuk usaha tetap ini ditetapkan sebagai Subjek Pajak tersendiri terpisah dari badan. Perlakuan perpajakannya di persamakan dengan Subjek Pajak Badan. Pengenaan Pajak Penghasilan Bentuk Usaha Tetap ini mempunyai eksistensi sendiri dan tidak termasuk dalam pengertian badan.

d. Pengelompokkan Subjek Pajak
Berdasarkan letak geografis subjek Pajak Penghasilan dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri.
1. Subjek Pajak dalam Negeri
Yang dimaksud Subjek Pajak Dalam Negeri adalah :
a. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dar 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
b. Badan yang didirikan atau bertempat tinggal di Indonesia.
c. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak.
Warisan yang belum terbagi yang di tinggalkan oleh orang pribadi sebagai Subjek Pajak Dalam Negeri dianggap Subjek Pajak Dalam Negeri mengikuti status pewaris. Adapun untuk pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakannya, warisan tersebut menggantikan kewajiban ahli waris yang berhak. Apabila warisan tersebut telah dibagi, maka kewajiban perpajakannya berpindah kepada ahli waris.
Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi sebagai Subjek Pajak luar Negeri yang tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, tidak dianggap sebagai Subjek Pajak pengganti karena pengenaan pajak atas pengahasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi dimaksud melekat pada objeknya.

2. Subjek Pajak Luar Negeri
Yang dimaksud Subjek Pajak Luar Negeri adalah :
a. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia.
Bentuk usaha tetap menggantikan orang pribadi atau badan sebagai Subjek Pajak Luar Negeri dalam memenuhi kewajiban perpajakannya di Indonesia. Bagi subjek Pajak Luar Negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, pemenuhan kewajiban perpajakannya disamakan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan bagi subjek Pajak Dalam Negeri.
b. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
Dalam hal penghasilan diterima atau diperoleh tanpa melalui bentuk usaha tetap, maka pengenaan pajaknya dilakukan langsung kepada Subjek Pajak Luar Negeri tersebut.
Perbedaan yang penting antara Subjek Pajak Dalam Negeri dan Subjek Pajak Luar Negeri terletak dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya, antara lain :
a. Subjek Pajak Dalam Negeri dikenakan pajak atas penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dari Indonesia dan dari luar Indonesia, sedangkan Subjek Pajak Luar Negeri dikenakan pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan Indonesia;
b. Subjek Pajak Dalam Negeri dikenakan pajak berdasarkan penghasilan neto dengan tarif umum, sedangkan Subjek Pajak Luar Negeri dikenakan pajak berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif pajak sepadan;
c. Subjek Pajak Dalam Negeri wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan sebagai sarana untuk menetapkan pajak yang terutang dalam suatu tahun pajak, sedangkan Subjek Pajak Luar Negeri tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan, karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final.

3. Tidak Termasuk Subjek Pajak
Subjek Pajak Penghasilan dikecualikan pada hal-hal sebagai berikut :
a. Badan perwakilan Negara asing;
b. Pejabat-pejabat perwakilan diplomatic dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari Negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat bukan warga Negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain diluar jabatan atau pekerjaannya tersebut, serta Negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbale balik;
c. Organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dengan syarat : Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berdasarkan iuran pada anggota;
d. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dengan syarat bukan warga Negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.

4. Kewajiban Pajak Subjektif
Pajak Penghasilan merupakan jenis pajak subjektif yang kewajiban pajaknya melekat pada subjek pajak tersebut, tidak dilimpahkan kepada sunjek pajak lainnya. Oleh karena itu, dalam rangka memberikan kepastian hokum, penentuan saat mulai dan berakhirnya kewajiban pajak subjektif tersebut ditentukan sebagai berikut :
a. Bagi orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, kewajiban pajak subjektifnya di mulai pada saat ia dilahirkan di Indonesia, sedangkan bagi orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia, kewajiban pajaknya dimulai sejak hari pertama orang pribadi tersebut berada di Indonesia atau berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia. Kewajiban pajak subjektif orang pribadi berakhir pada saat meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.
b. Bagi badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kewajiban pajak subjektifnya dimulai pada saat badan tersebut didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia dan berakhir pada saat dibubarkan atau tidak lagi bertempat kedudukan di Indonesia.
c. Bagi orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia (dimulai pada saat bentuk usahatetap tersebut berada di Indonesia) dan kewajiban pajak subjektifnya berakhir pada saat tidak lagi menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia (bentuk usaha tetap tersebut tidak lagi berada di Indonesia).
d. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, dan kewajiban pajak subjektifnya berakhir pada saat tidak lagi menerima atau memperoleh penghasilan tersebut.

e. Bagi warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak, kewajiban pajak subjektifnya dimulai pada saat timbulnya warisan yang belum terbagi tersebut, yaitu pada saat meninggalnya pewaris, sehingga sejak saat itu pemenuhan kewajiban perpajakannya melekat pada warisan tersebut. Kewajiban pajak subjektif warisan berakhir pada saat warisan tersebut selesai dibagi kepada para ahli warisnya, sehingga sejak saat itu pemenuhan kewajiban perpajakannya beralih kepada para ahli warisnya.
f. Apabila kewajiban pajak subjektif orang pribadi yang bertempat tinggal atau yang berada di Indonesia hanya meliputi sebagian dari tahun pajak, maka bagian tahun pajak tersebut menggantikan tahun pajak. Dapat terjadi orang pribadi menjadi Subjek Pajak tidak untuk jangka waktu satu tahun pajak penuh, misalnya orang pribadi yang mulai menjadi Subjek Pajak pada pertengahan tahun pajak, atau yang meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya pada pertengahan tahun pajak. Jangka waktu yang kurang dari satu tahun pajak tersebut dinamakan bagian tahun pajak yang menggantikan tahun pajak.

e. Objek Pajak Penghasilan
Yang menjadi Objek Pajak adalah Penghasilan yaitu setiap Tambahan Kemampuan Ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Objek pajak telah diatur dalam pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 tahun 2000.



f. Dasar Hukum Pajak Penghasilan
Dasar Hukum Perpajakan Untuk Penghasilan :
1. Undang-undang No.17 tahun 2000 tentang perubahan ketiga atas UU No 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
2. Keputusan Dirjen Pajak No. KEP-161/PJ./2001 tentang Jangka Waktu Pendaftaran dan Pelaporan Kegiatan Usaha, Tata Cara Pendaftaran dan Penghapusan NPWP, serta Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
Penjelasan:
a. Yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.
b. Wajib Pajak yang tidak menjalankan usaha, apabila dalam waktu satu bulan memperoleh penghasilan yang jumlahnya telah melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak setahun dan/atau Wajib pajak yang menjalankan usaha wajib mendaftarkan diri untuk mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Apabila anda memiliki penghasilan dari lebih satu sumber yakni dari perusahaan tempat ibu bekerja yang telah dipotong pajak oleh perusahaan dan dari usaha edukasi prasekolah , maka ibu wajib memiliki NPWP, menyampaikan SPT Tahunan Pajak Pribadi dan dalam pelaporan SPT Tahunan untuk pajak pribadi ibu terdapat pajak terhutang yang masih harus dibayar karena penghasilan yang akan ibu laporkan di dalam SPT Tahunan Pajak Pribadi adalah total gabungan penghasilan dari perusahaan dan dari usaha edukasi. Jika ibu telah menikah , maka NPWP diberikan atas nama suami . untuk lebih jelasnya lebih baik anda melakukan konsultasi pajak dengan konsultan pajak atau biro jasa yang bergerak di bidang pajak

g. Saat Pelunasan Pajak Penghasilan
Dengan system self assessment yang digunakan dalam system perpajakan nasional, perlu adanya kepastian yang menetapkan kapan Pajak Penghasilan tersebut harus dilunasi. Ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 138 Tahun 2000 telah menetapkan saat pelunasan pajak dalam tahun berjalan dengan kualifikasi:
1. Melalui Pihak Lain
a. Terhadap pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak-pihak yang melakukan pemotongan PPh Pasal 21 (perhatikan pemotong sebagaimana dimaksud Pasal 21 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan) terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau pada akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.
b. Pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak-pihakyang melakukan pemungutan sebagaimana diatur dalam Pasal 22 Ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan Terutang pada saat pembayaran, kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan.
c. Pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Undang-undang Pajak Penghasilan, terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.
d. Pemotongan Pajak Penghasilan atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan, terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.
2. Langsung oleh Wajib Pajak Sendiri
a. Untuk Wajib Pajak Orang Dalam Negeri yang menerima penghasilan sehubungan dengan pekerjaan dari badan-badan yang tidak wajib melakukan pemotongan, penyetoran dan pelaporan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan, wajib memiliki NPWP dan melaksanakan sendiri penghitungan dan pembayaran Pajak Penghasilan yang terutang dalam tahun berjalan serta melaporkannya dalam Surat Pemberitahuan Tahunan.
b. Pelunasan Pajak Penghasilan melalui pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sendiri yakni angsuran Pajak Penghasilan dalam tahun pajak berjalan (PPh Pasal 25).
c. Pelunasan Pajak Penghasilan melalui pembayaran pajak oleh Wajib Pajak atas penghasilan-penghasilan tertentu yang diatur tersendiri dengan Peraturan Pemerintah, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan.
3. Saat sesudah akhir Tahun Pajak
Pelunasan pajak sesudah tahun pajak berakhir dilakukan apabila jumlah Pajak Penghasilan yang terutang untuk satu tahun pajak lebih besar daripada jumlah kredit pajak untuk tahun pajak yang bersangkutan. Contohnya, PPh Pasal 29 Undang-undang Pajak Penghasilan.

h. Sanksi Pidana
Dalam Pasal 39 Undang-undang No. 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (KUP) dinyatakan bahwa seseorang dengan sengaja tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara, diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 6 tahun dan denda setinggi-tingginya 4 kali jumlah pajak yang terutang atau kurang dibayar.

i. Peraturan Pemerintah Tentang Penghitugan Penghasilan Kena Pajak
PP Nomor 138 Tahun 2000 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan mengatur pula mengenai pengeluaran dan biaya yang tidak boleh dikurangkan dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap.

B. ZAKAT
a. Pengertian Zakat
Menurut bahasa, zakat merupakan masdar dari Zaka yang berarti berkah, tumbuh, bersih dan baik. Sedangkan menurut Lisan al-Arab, arti kata zaka ditinjau dari sudut bahasa adalah suci, tumbuh, berkah dan terpuji. Dalam istilah fiqh, zakat adalah sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah untuk diserahkan kepada orang-orang yang berhak. Jumlah yang dikeluarkan tersebut disebut zakat karena yang dikeluarkan itu menambah banyak, membuat lebih berarti dan melindungi kekayaan dari kebinasaan dan kesia-siaan, demikian al-Nawawi mengutip pendapat al-Wahidi).

b. Landasan Normatif
Dalam beberapa teks al-Qur’an dan hadis, istilah shadaqah digunakan untuk perintah zakat.(QS 9: 58, 9 : 60, 9:103). Di samping itu, al-Qur’an juga menggunakan dengan kalimat zakat (kalimat zakat disebutkan 30 kali dalam al-Qur’an, 27 kali disebut bersama dengan penyebutan ayat tentang shalat).
Qadli Abu Bakar bin Arabi berpendapat bahwa sadaqah berasal dari kata shidq (benar). Benar dalam hubungan dengan sejalannya perbuatan dan ucapan serta keyakinan.
Dengan demikian, sedekah berarti bukti kebenaran iman dan membenarkan adanya hari kiyamat.

c. Fungsi Zakat Bagi Penerima, Individu dan Masyarakat
Zakat merupakan ibadah sosial yang berkaitan erat antara hubungan manusia dengan manusia, yakni antara pemberi dengan penerima, maupun terhadap masyarakat. Fungsi zakat bagi penerima,individu dan masyarakat diantaranya :
• pemberdayaan dari kemiskinan; hadits riwayat Imam Al-Ashbahani bahwa Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya Allaw swt telah mewajibkan atas orang kaya suatu kewajiban zakat yang dapat menanggulangi kemiskinan. Tidak mungkin terjadi fakir menderita kelaparan atau kekurangan sandang kecuali dikarenakan kebakhilan orang kaya muslim. Ingatlah, Allah swt akan melakukan perhitungan yang teliti dan meminta pertanggungjawaban mereka lalu menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih".
• perwujudan kasih-sayang dan tolong-menolong sesama muslim, antara yang kaya (punya kelebihan harta) dan yang miskin (kekurangan harta), sebagai bukti persaudaraan antar mu'min (Q.S. 49:10;9:71).
• manifestasi rasa syukur atas limpahan ni'mat Allah swt yang tak terhitung jumlahnya (Q.S. 14:34), baik lahir maupun batin (Q.S. 31:20), berupa ni'mat iman dan islam (Q.S. 3:164), penglihatan, pendengaran, dan akal pikiran (Q.S. 16:78), istr-istri yang menyenangkan (Q.S. 30:21), rizqi buah-buahan (Q.S. 2:21), dll.
• Pembebas dari kebinasaan (Q.S. 2:195), ketakutan dan kesedihan (Q.S. 2:274).
• Pembersih harta, penyuci dan penenang jiwa (Q.S. 9:103).
• Peneguh kedudukan di muka bumi (Q.S. 22:41).
• Pelipat ganda rizqi (Q.S. 2:261, 265; 30:39).
• Zakat merupakan realisasi kepedulian sosial
• Mencegah atau minimal mengurangi terjadinya penumpukan atau konglomerasi dan perputaran harta di kalangan orang-orang kaya saja (Q.S. 59:7).
• Zakat akan memperkecil kesenjangan sosial
• Zakat mencegah munculnya penyakit hati akibat kecemburuan sosial.
• Insya Allah, bila Zakat suatu negeri benar-benar dikelola dengan profesional dan transparan maka penduduk negeri akan hidup aman-tenteram, sebagai indikasi dibukanya pintu barokah dari langit dan bumi (Q.S. 7:96) dan negeri tersebut menjadi Baldatun Thoyyibatun wa Rabbun Ghafuurun.

C. Pajak dan zakat
Meskipun sistem ekonomi yang islami tidak melarang secara mutlak pemungutan pajak, tetapi pajak merupakan sumber penerimaan negara yang tidak dianjurkan. Selain telah ada zakat, penungutan pajak juga dapat membebani masyarakat sehingga sedapat mungkin dihindari. Akan tetapi, negara kita merupakan negara yang menggunakan sstem ekonomi konvensional, maka dari itu, zakat dijadikan sebagai pengurang pajak merupakan wacana yang sangat menarik.
Pajak menurut ahli keuangan adalah kewajiban yang ditetapkan kepada wajib pajak, yang harus disetor kepada negara sesuai ketentuan, tanpa mendapat prestasi kembali dari negara dan hasilnya digunakan untuk kepentingan-kepentingan umum di satu pihak dan untuk merealisir sebagian tujuan ekonomi, sosial, politik dan tujuan-tujuan lain yang ingin dicapai oleh negara pada sisi yang lain
Zakat menurut ahli fiqh ialah hak tertentu yang diwajibkan Allah SWT tehadap harta kaum muslimin yang diperuntukkan bagi mereka, yang dalam al-Qur’an disebut mustahik, sebagai tanda syukur kepada Allah, sebagai upaya pendekatan diri padaNya, dan untuk membersihkan hartanya.

a. Persamaan Pajak dan zakat
• Unsur paksaan dalam menunaikannya.
• Ada lembaga sebagai pengumpul; pada pajak ada negara dan pada zakat lembaga amil.
• Tidak mendapatkan imbalan sebagai akibat dari mengeluarkan sebagian harta
• Sama-sama memiliki tujuan sosial
• sama-sama memiliki implikasi sosial
b. Perbedaan Pajak dan zakat
1) dari aspek nama dan etikanya
- zakat, tinjauan lafdzi menunjukkan bahwa dikeluarkannya zakat diyakini akan memiliki implikasi pada kesucian harta, dan menjadi sebab bertambahnya nilai harta.
- Pajak, tinjauan lafdzi (bahasa Arab dharibah) menunjukkan bahwa pembayaran pajak berarti melakukan pembayaran upeti. Pada diri seseorang yang telah membayar pajak tidak ada lagi beban upeti.
2) dari aspek hakikat
• Zakat ditunaikan dalam rangka memenuhi tuntutan Allah SWT, ia dibayar untuk tujuan ibadah, mendekatkan diri pada Allah dan dalam rangka mencari keridlaanNya atas harta yang dikonsumsi.
• Pajak dibayar tidak didasari atas keyakinan akan beribadah dan pendekatan diri pada Allah, ia dibayar semata-mata memenuhi kewajiban yang ditetapkan negara.
3) kadar harta
• Zakat merupakan kewajiban yang ditetapkan oleh Allah, maka segala ketentuan termasuk jumlahnya Allah-lah yang memiliki kewenangan untuk menentukan. Tak seorangpun dapat merubah ketentuan.
• Pajak merupakan kewajiban dari negara, maka negaralah yang memiliki kewenangan menentukan jumlahnya, temasuk negara pula yang mempunyai kewenagan untuk menghapuskannya.
4) kelestarian dan sasaran
• Zakat adalah kewajiban yang bersifat tetap dan terus menerus;
• Sasaran zakat sudah pasti ditetapkan oleh Allah; sedangkan
• Pajak adalah kewajiban pajak sangat tergantung pada negara;
• Sasaran pajak ditentukan oleh negara

D. ZAKAT SEBAGAI PENGURANG PAJAK
Di Indonesia, memang belum ada Peraturan Pemerintah ataupun Undang-Undang yang mengatur zakat bisa mengurangi beban pajak penghasilan. Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) meminta DPR menjadikan zakat sebagai pengurang pajak karena zakat dapat berperan dalam pengentasan kemiskinan. Karena itu, DPR diminta untuk segera mengamandemen UU Pajak Penghasilan (PPh).
Saat ini zakat baru ditetapkan sebagai pengurang penghasilan kena pajak (PKP) dan bukan sebagai pengurang langsung atas pajak. Hal tersebut berdasarkan UU No 17 tahun 2000 tentang amandemen atas UU No 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan (PPh) dan UU No 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat. Kebijakan tersebut dinilai tidak berdampak besar terhadap perkembangan zakat di Indonesia. Padahal, zakat memiliki peran sosial sama seperti pajak. Termasuk berperan pengentasan kemiskinan. Karena itu, zakat sudah selayaknya menjadi pengurang pajak agar masyarakat termotivasi untuk membayar zakat. Dengan demikian, zakat sebagai pengentas kemiskinan dapat berkembang pesat di Indonesia.
Bila pajak dapat dijadikan sebagai pengurang pajak, maka zakat dapat menjadi instrumen pendukung program pemerintah. Hal tersebut dilakukan dengan mendorong pengelolaan pajak untuk kepentingan infrastruktur non sosial. Sedangkan, zakat untuk pengelolaan sosial. Jadi, zakat dikelola untuk kepentingan sosial pengentas kemiskinan dan bencana. Sedangkan pajak, digunakan untuk membangun infrastruktur. berdasarkan hasil pengkajian Baznas, potensi zakat profesi satu tahun di Indonesia bisa mencapai sekitar Rp 32 triliun. Kalau potensi dana zakat tersebut didasari pemerintah dan dikelola dengan baik, maka permasalahan kemiskinan di Indonesia dapat diatasi dengan segera tanpa harus berutang.
Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan (Depkeu) tidak perlu khawatir dengan berkurangnya penghimpunan dana pajak akibat zakat. Sebab, zakat sebagai pengurang pajak telah diterapkan di sejumlah negara dan terbukti tidak berdampak negatif terhadap penghimpunan pajak seperti di Singapura dan Malaysia. Untuk merealisasikan hal tersebut, UU Pajak perlu diamandemen agar zakat dapat menjadi pengurang pajak. Dorongan tersebut dapat dilakukan pemerintah bersama dengan Baznas.

E. KESIMPULAN
Banyak persamaan antara zakat dan pajak, tetapi banyak juga perbedaan yang mendasari keduanya.
SEJAK awal sesungguhnya ajaran Zakat dalam Islam tidak dimaksud lain kecuali sebagai acuan etika sosial untuk Penganggaran Negara (state budgeting), baik pada sektor pendapatan (pemajakan) maupun pembelanjaannya.
Pada hakekatnya, kedunya merupakan usaha dalam mensejahterakan masyarakat, dimana pajak telah diatur oleh pemerintah dan zakat telah diatur oleh Allah SWT guna mengurangi angka kemiskinan pada masyarakat dan memperpendek jarak antara orang kaya dan orang yang kurang kaya.
Di Indonesia, potensi zakat sangat besar. Bila kesadaran masyarakat akan zakat tinggi, maka bukan hal yang mustahil bangsa ini makmur dan sejahtera. Banyak pihak yang berpendapat bila zakat dapat mengurangi pajak penghasilan (PPh), maka kesenjangan sosial akan sedikit teratasi.
Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) mendesak pemerintah agar segera mengamandemen UU Pajak dimana harapannya adalah zakat bisa menjadi pengurang pajak penghasilan (PPh).
Hal ini bukanlah sesuatu yang mustahil, karena pada dasarnya zakat dan pajak memiliki tujuan yang sama yaitu mensejahterakan masyarakat, serta mendorong pergerakan eknomi masyarakat menjadi lebih maju lagi.



DAFTAR PUSTAKA

B. Ilyas, Wirawan, dan Waluyo, Perpajakan Indonesia, Jakarta : Salemba, 2003.

Hendrie, Anto, M.B., Pengantar Ekonomika Mikro Islami, Yogyakarta : EKONISIA, 2003.

Inayah, Gazi, Teori Komprehensif Tentang Zakat dan Pajak, Yogyakarta : Tiara Wacana Yogaya, 2003.

Juanda, Gustian, Pelaporan Zakat Pengurang Pajak Penghasilan, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2006.

Y Sri Pudyatmoko, Pengantar Hukum Pajak, Yogyakarta : Andi, 2004.

http://id.wikipedia.org/wiki/Pajak_penghasilan, diakses tanggal 24 Oktober Jam 08.00. wib

Selengkapnya...

Strategi Saluran Distribusi

PENDAHULUAN

Suatu perusahaan perlu melaksanakan fungsi distribusi dikarenakan pendistribusian merupakan salah satu proses pada perusahaan dalam penyetokan barang atau penawaran produknya ke pasar. Dan pendistribusian dapat diartikan sebagai kegiatan pemasaran yang berusaha memperlancar dan mempermudah penyampaian barang dan jasa kepada konsumen sehingga penggunaannya sesuai dengan yang diperlukan (jenis, jumlah, harga, tempat, dan saat dibutuhkan).



Saluran distribusi untuk suatu barang adalah saluran yang digunakan oleh produsen untuk menyalurkan barang tersebut dari produsen sampai ke konsumen atau pemakai industri. Proses distribusi merupakan aktivitas pemasaran yang mampu menciptakan nilai tambah produk melalui fungsi-fungsi pemasaran yang dapat merelisasikan kegunaan atau utilitas bentuk, tempat, waktu, kepemilikan.dan perlancar arus saluran pemasaran (marketing channel flow) secara fisik dan non-fisik.
Dalam pelaksanaan aktivitas-aktivitas distribusi, perusahaaan harus dihadapkan dengan perantara atau yang biasa disebut midleman. Dan dalam penyaluran distribusi perusahaan harus mempunyai strategi-srategi yang tepat agar dalam penawaran produknya ke pasar berjalan dengan lancar dan sesuai dengan apa yang diharapkan perusahaan.

PEMBAHASAN

Peranan Perantara Dalam Pemasaran
Perantara adalah orang atau perusahaan yang menghubungkan aliran barang dari produsen ke konsumen industri (Stanton, et al.,1990). Secara umum perantara terbagi atas merchant mindleman dan agen mindleman. Merchant mindleman adalah perantara yang memiliki barang (dengan membeli dari produsen) untuk kemudian dijual kembali. Sedangkan yang dimaksud dengan agent mindleman adalah perantara yang hanya mencarikan pembeli, menegosiasikan dan melakukan transaksi atas nama produsen.
Perantara dibutuhkan karena adanya beberapa kesenjangan diantara produsen dan konsumen. Kesenjangan tersebut antara lain:
• Geographical gap, yaitu gap yang disebabkan oleh tempat tempat pemusatan produksi dan lokasi konsumen yang tersebar dimana-mana.
• Time gap, yaitu kesenjangan yang terjadi karena adanya bahwa pembelian atau konsumsi dilakukan hanya pada waktu-waktu tertentu sementara produksi berlangsung terus-menerus sepanjang waktu.
• Quantity gap, yaitu kesenjangan yang terjadi karena jumlah barang yang diproduksikan secara ekonomis oleh produsen berbeda dengan kuantitas normal yang diinginkan konsumen.
• Assortment gap, yaitu situasi dimana produsen umumnya berspesialisasi pada produk tertentu, sedangkan konsumen menginginkan produk yang beraneka ragam.
• Communication and information gap, yaitu kesenjangan yang timbul karena konsumen tidak tahu dimana sumber-sumber produksi yang menghasilkan produk yang diinginkan atau dibutuhkannya, sementara dilain pihak produsen tidak tahu siapa dan dimana pembeli potensial setara.
Adapun tujuan dari penggunaan perantara adalah perantara memanfaatkan tingkat kontak atau hubungan, pengalaman, spesialisasi, dan skala operasi mereka dalam menyebar luaskan produk sehingga dapat mencapai pasar sasaran secara efektif dan efisien.
Ketika memilih saluran distribusi, perusahaan harus mengikuti kriteria 3C, yaitu channel market, market converage, dan cost. Hal-hal yang perlu diperhatikan meliputi pertimbangan pasar, produk, perantara, dan perusahaan.
Pertimbangan pasar
1. Jenis pasar
Pasar yang akan dituju misal untuk mencapai pasar produksi perusahaan tidak akan memerlukan pengeceran
2. Jumlah Pelanggan Potensial
Jika pelanggan potensial relative sedikit, maka akan lebih baik bila perusahaan memakai tenaga penjual sendiri.
3. Konsentrasi geografis pasar
Pemasar cenderung mendirikan cabang-cabang penjualan di pasar yang berpenduduk padat dan menggunakan perantara yang berpenduduk jarang.
4. Jumlah dan ukuran pesanan
Perusahaan akan menjual secara langsung pada jaringan grosir yang lebih besar.
Pertimbangan produk
1. Nilai Unit (Unit Value)
Semakin rendah nilai unit maka saluran distribusi semakin panjang.
2. Perishability
Untuk produk yang fisiknya mudah rusak saluran distribusinya lebih baik pendek
3. Sifat Teknis Produk
Produk yang bersifat sangat teknis harus didistribusikan secara langsung.
Pertimbangan tentang perantara
1 Jasa yang diberikan perantara
Produsen memilih perantara yang memberi jasa pemasaran yang tidak biasa dilakukan perusahaan secara teknis maupun ekonomis.
2. Keberadaan perantara yang diinginkan
3. Sikap perantara terhadap kebijakan perusahaan
Pertimbangan perusahaan
1. Sumber-sumber financial
Perusahaan yang kuat keuangannya cenderung lebih tertarik untuk mengorganisasikan armada penjualannya sendiri sehinnga mereka relative kurang membutuhkan perantara.
2. Kemampuan manajemen
Kurangnya pengalaman dan kemampuan pemasaran akan menyebabkan perusahaan lebih suka memanfaatkan perantara untuk mendistribusikan barangnya .
3. Tingkat pengendalian yang diinginkan
Apabila perusahan dapat mengendalikan saluran distribusi, maka perusahaan dapat melakukan promosi yang agresif dan dapat mengawasi kondisi persediaan barang dan harga eceran produknya.
4. Jasa yang diberikan penjual
5. Lingkungan
Pada situasi perekonomian yang lesu perusahaan cenderung menyalurkan barang kepasar dengan cara yang paling ekonomis, yaitu menggunakan saluran distribusi yang pendek
Adapun jenis-jenis perantara dalam saluran distribusi antara lain :
1) Pedagang Besar (wholesaler)
Adalah perantara pedagang yang terikat dengan kegiatan perdagangan dalam jumlah yang besar untuk dijual lagi dan biasanya tidak melayani penjualan eceran kepada konsumen akhir.
2) Pengecer (Retailer)
Adalah usaha bisnis yang menjual barang-barang atau jasa kepada konsumen akhir untuk keperluan pribadi (bukan untuk keperluan bisnis).
3) Agen
Adalah perantara yang mewakili penjual atau pembeli dalam transaksi dan dalam hal ini hubungan kerja dengan kliennya bersifat permanent.
Distribusi Fisik
Adalah segala kegiatan untuk memindahkan barang dalam kuantitas tertentu , ke suatu tempat tertentu, dan dalam jangka waktu tertentu.
Fungsi-fungsi dalam distribusi fisik meliputi :
 Transportation
Memilih cara yang tepat untuk memindahkan barang ketempat yang jauh jaraknya. Alternatif angkutan bisa meliputi rel (kereta api), air (kapal), truk, udara (pesawat), maupun menggunakan pipa khusus.
 Storage dan warehousing
Yaitu menyimpan barang untuk sementara, menunggu untuk dijual lagi atau dikirim lebih lanjut
 Inventory central
Yaitu pemilihan alternative apakah penyimpanan harus dilakukan terpusat atau tersebar
 Material handling
Yaitu pemilihan alat yang tepat untuk memindahkan barang ke tempat yang dekat, seperti ke gudang, ke kendaraan, ke retailer store, dan sebagainya.
 Border Processing
Yaitu kegiatan-kegiatan seperti penentuan syarat-syarat pengiriman, mempersiapkan dokumen, dan lain-lain.
 Protective Packaging
Yaitu penentuan wadah barang agar terhindar dari berbagai kerugian yang timbul selama pengiriman.

Strategi Distribusi
Merupakan penentuan manajemen saluran distribusi yang dipergunakan oleh produsen untuk memasarkan barang dan jasanya, sehingga produk tersebut dapat sampai di tangan konsumen sasaran dalam jumlah dan jenis yang dibutuhkan, pada waktu yang dibutuhkan, pada waktu yang diperlukan, dan ditempat yang tepat. Secara garis besar terdapat enam macam strategi distribusi yang dapat digunakan, yaitu :
1) Strategi Struktur Saluran Distribusi
Strategi ini berkaitan dengan penentuan jumlah perantara yang digunakan untuk mendistribusikan barang dari produsen ke konsumen. Alternatif yang dipilih dapat berupa distribusi langsung atau distribusi tidak langsung. Tujuannya untuk mencapai jumlah pelanggan yang optimal pada waktu yang tepat dan dengan biaya yang rendah namun dapat meraih dan menjaga tingkat pengendalian distribusi tertentu.
Ada beberapa metode yang yang digunakan untuk memilih alternative strategi struktur saluran distribusi, yaitu :
1) Postponement-Speculation Theory
Mendasarkan pemilihan saluran distribusi pada resiko, ketidakpastian, dan biaya yang dapat timbul dalam transaksi. Penundaan (postponement) berarti berupaya mengurangi risiko dengan mencocokkan produksi dengan permintaan actual pelanggan.
2) Goods Approach
Menyatakan bahwa karakteeristik produk yang menentukan metode distribusi yang tepat dan ekonomis
3) Financial Approach
Keinginan produsen untuk dapat memutuskan harga eceran, outlet distribusi, pelayanan kepada pelanggan, fasilitas penyimpanan, dan iklan.
4) Pertimbangan lain
 Perkembangan teknologi
 Faktor social dan standar etika
 Regulasi pemerintah
 Tipologi, pola populasi, dan luasnya daerah geografis
 Kebudayaan

2. Strategi Cakupan Distribusi
Strategi ini berkaitan dengan jumlah perantara sesuatu wilayah. Tujuannya untuk melayani pasar dengan biaya yang minimal namun bisa menciptakan citra produk yang diinginkan. Strategi ini ada tiga macam dan pemilihan masing-masing strategi mensyaratkan pemahaman pemasar mengenai kebiasaan pembeliaan pelanggan, tingkat gross margin dan turnovel, kemampuan retailer dalam memberi jasa dan menjual seluruh lini produk perusahaan serta kelas produk.
1. Distribusi eksklusif yaitu produsen hanya menuntut satu orang perantaara khusus untuk menyalurkan barangnya di wilayah tertentu, dengan syarat perantara tersebut tidak boleh menjual produk produsen lain.
2. Distribusi Intensif yaitu produsen berusaha menyediakan produknya disemua retail outlet yang mungkin memasarkannya.
3. Distribusi Selektif yaitu strategi menempatkan produk perusahaan dibeberapa retail outlet saja dalam suatu daerah tertentu.

3. Strategi Distribusi Berganda
Yaitu pengguanaan lebih dari satu saluran yang berbeda untuk melayani segmen pelanggan. Tujuannya untuk memperoleh akses yang optimal pada setiap segmen. Penggunaan saluran distribusi ganda ini ada dua jenis yaitu :
1. Saluran komplementer yaitu jika masing-masing saluran menjual produk yang tidak saling berhubungan atau melayani segmen pasar yang tidak saling berhubungan tujuannya untuk mencapai segmen pasar yang tidak dapat dicapai oleh saluran distribusi perusahaan yang sekarang.
2. Saluran kompetitif yaitu jika produk yang sama dijual melalui dua saluran yang berbeda tapi bersaing satu sama lain. Tujuannya untuk meningklatkan penjualan.

4. Strategi Modifikasi Saluran Distribusi
Adalah strategi mengubah susunan saluran distribusi yang ada berdasarkan evaluasi dan peninjauan ulang. Dengan mengubah susunan saluran distribusi diharapkan perusahaan dapat menjaga system distribusi yang optimal pada perubahan-perubahan lingkungan tertentu
5. Strategi pengendalian Saluran Distribusi
Adalah menguasai semua anggota dalam saluran distribusi agar dapat mengendalikan kegiatan mereka secara terpusat kearah pencapaian tujuan bersama.
Adapun Tujuan dari strategi ini adalah :
1. Untuk meningkatkan pengendalian
2. Memperbaki ketidakefisienan
3. Mengetahui efektifitas biaya melalui kurva pengalaman
4. Mencapai skala ekonomis
Jenis-jenis strategi pengendalian saluran yang biasa digunakan antara lain
1. Vertical marketing system (VMS), yaitu jaringan yang dikelola secara terpusat dan professional, yang sejak awal didesain untuk mencapai penghematan dalam operasi dan hasil pemasaran yang optimal
2. Horizontal Marketing Sistem (HMS), merupakan jaringan yang berbentuk apabila beberapa perusahaan perantara yang tidak berkaitan menggabungkan sumber daya dan program pemasarannya guna memanfaatkan peluang pasar yang ada, yang dalam hal ini mereka berada dibawah satu manajemen
6. Strategi Manajemen Konflik dalam Saluran Distribusi
Konsep sistem pada distribusi mensyaratkan adanya kerja sama antar saluran. Meskipun demikian didalam saluran selalu timbul struktur kekuatan sehingga diantara anggota saluran sering terjadi perselisihan. Konflik juga dapat timbul antara saluran yang satu dengan saluran yang lain yang menjual produk yang sama dan ke pasar yang samapula.
Konflik Horizontal
Konflik ini terjadi diantara para perantara yang sejenis. Konflik horizontal dapat berupa :
1. Konflik antar perantara yang menjual barang sejenis
2. Konflik antar perantara yang menjual barang berbeda
Sumber konflik biasanya karena ada perantara yang memperluas lini produknya dengan lini baru dan tidak tradisional
Konflik vertical
Konflik ini terjadi antar anggota saluran distribusi dan terdiri dari :
1. Konflik antar produsen dan pedagang grosir
2. Konflik antar produsen dan pengecer
Sumber konflik umumnya adalah ketidaksamaan tujuan, hak, dan peranan yang tidak jelas, perbedaa presepsi, dan sangat besarnya ketergantungan perantrara kepada produsen.
KESIMPULAN

Stategi saluran distribusi merupakan penentuan manajemen saluran distribusi yang dipergunakan oleh produsen untuk memasarkan barang dan jasanya, sehingga produk tersebut dapat sampai di tangan konsumen sasaran dalam jumlah dan jenis yang dibutuhkan, pada waktu yang dibutuhkan, pada waktu yang diperlukan, dan ditempat yang tepat.
Secara garis besar terdapat enam macam strategi distribusi yang dapat digunakan, yaitu : Srategi struktur saluran distribusi, Strategi cakupan distribusi, Strategi saluran distribusi berganda, Strategi modifikasi saluran distribusi, Strategi pengendalian saluran distribusi, dan Strategi manajemem konflik dalam saluran distribusi.
Adapun fungsi-fungsi dari saluran pemasaran adalah: informasi, promosi, negosiasi, pemesanan, pembiayaan (pembelanjaan), pengambilan resiko, kepemilikan secara fisik, pembayaran, dan title.


DAFTAR PUSTAKA

Tjiptono, Fandi. 1997. Strategi Pemasaran. Andi: Yogyakarta
Saladin, Djaslin.1996. Unsur-Unsur Inti Pemasaran dan Manajemen Pemasaran. Mandal Maju: Bandung
Suastha, Basu dan Sukotjo, Ibnu. 2002. Pengantar Bisnis Modern. Liberty: Yogyakarta
Suastha, Basu. 1999. Saluran Pemasaran, edisi pertama. BPFE: Yogyakarta

Selengkapnya...

Sejarah Perpajakan Di Indonesia

SEJARAH PERPAJAKAN DI INDONESIA

Secara umum pemungutan pajak yang teratur dan permanen telah dikenakan pada masa kolonial. Tetapi pada masa kerajaan dahulu juga telah ada pungutan seperti pajak, pungutan seperti itu dipersembahkan kepada raja sebagai wujud rasa hormat dan upeti kepada raja, yang disampaikan rakyat di wilayah kerajaan maupun di wilayah jajahan, figur raja dalam hal ini dapat dipandang sebagi manifestasi dari kekuasaan tunggal kerajaan (negara).
Pada awal kemerdekaan pernah dikeluarkan Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1950 yang menjadi dasar bagi pajak peredaran (barang), yang dalam tahun 1951 diganti dengan pajak penjualan(PPn) 1951 Pengenaan pajak secara sitematis dan permanen, dimulai dengan pengenaan pajak terhadap tanah, hal ini telah ada pada zaman kolonial. Pajak ini disebut “Landrent” (sewa tanah) oleh Gubernur Jenderal Raffles dari Inggris. Pada masa penjajahan Belanda disebut “Landrente”. Peraturan tentang Landrente dikeluarkan tahun 1907 yang kemudian diubah dan ditambah dengan Ordonansi Landrente. Pada tahun 1932, dikeluarkan Ordonansi Pajak Kekayaan (PKk) yang beberapa kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun1964.



Pada tahun 1960 dikeluarkan UU Nomor 5 Tahun 1960 yang mengemukakan bahwa hukum atas tanah berlaku atas semua tanah di Indonesia, ditegaskan lagi dengan Keputusan Presidium Kabinet Tanggal 10 Februari Tahun 1967 Nomor 87/Kep/U/4/1967. dengan pemberian otonomi dan desentralisasi kepada pemerintah Daerah, Pajak Hasil Bumi kemudian namanya diubah menjadi IPEDA (Iuran Pembangunan Daerah) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Iuran Negara No.PM.PPU 1-1-3 Tanggal 29 November 1965 yang berlaku mulai 1 November 1965.

DASAR HUKUM PAJAK

Dalam hal pemungutan pajak, Undang-Undang Dasar 1945 menentukan pada pasal 23 A yang ,menyebutkan bahwa:’pajak & pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.’ Ketentuan undang-undang dibidang pajak diantaranya:
1. Undang-Undang nomor 16 Tahun 2000 Tentang ketentuan umum & Tata cara perpajakan.
2. Undang –Undang nomor 17 Tahun 2000 Tentang Pajak Penghasilan.
3. Undang-Undang nomor 18 Tahun 2000 Tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Barang & Jasa serta Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
4. Undang-Undang nomor 12 Tahun 2000 Tentang Pajak Bumi & Bangunan.
5. Undang-Undang nomor 13 Tahun 1985 Tentang Bea Materai.
6. Undang-Undang nomor 17 Tahun 1997 Tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak
7. Undang-Undang nomor 34 Tahun 2000 Tentang Pajak Daerah & Retribusi Daerah.
8. Undang-Undang nomor 19 Tahun 2000 Tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa.
9. Undang-Undang nomor 20 Tahun 2000 Tentang Bea Perolehan Hak atas dan/ Bangunan.

PENGERTIAN HUKUM PAJAK

Hukum pajak atau juga disebut hukum fiskal, adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat dengan melalui kas negara, sehingga ia merupakan bagian dari hukum publik, yang mengatur hubungan-hubungan hukum antar negara & orang-orang atau badan-badan (hukum) yang berkewajiban membayar pajak (wajib pajak).
Sedangkan definisi pajak sendiri tidak mempunyai batasan diantaranya adalah:
• Pengertian pajak menurut Prof. Dr. P.J.A Adriani,”pajak adalah iuran kepada negara (yang dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-paraturan dengan tidak mendapat prestasi-kembali, yang langsung dapat ditunjuk,dan gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negarauntuk menyelenggerakan pemerintahan”.
• Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H. dalam bukunya Dasar-Dasar Hukum Pajak Dan Pajak Pendapatan “ Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan Undang-Undang ( yang dapat dipaksakan) dengan mendapat jasa-jasa timbal (kontra-prestasi), yang langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum”. Tetapi pengertian tersebut dikoreksi lagi dalam bukunya yang berjudul Pajak dan Pembangunan , Eresco, 1974, halaman 8 “Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat ke kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan ‘surplus’-nya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment”.

Dari beberapa definis diatas & berdasarkan ciri-ciri dari pajak dapat ditarik kesimpulan bahwa pajak adalah iuran yang dipungut baik oleh pemerintah pusat maupun daerah berdasarkan kekuatan undang-undang serta aturan palaksanaannya kepada wajib pajak yang diperuntukan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah baik yang bersifat pembiayaan (publik Investment )maupun mengatur untuk mencapai kesejahteraan umum.

PEMBAGIAN PAJAK
Secara umum pembagian pajak dibedakan berdasarkan sifat-sifat & ciri-ciri tertentu yang terdapat dalam masing-masing pajak.
Pembagian pajak berdasarkan sifat-sifat tertentu :
 Pajak atas kekayaan & pendapatan
 Pajak atas lalu lintas, yaitu lalu lintas hukum,kekayaan & barang
 Pajak yang bersifat kebendaan
 Pajak atas pemakaian


Pembagian pajak berdasarkan ciri-ciri tertentu:
 Pajak subjektif & objektif
 Pajak langsung & tidak langsung
 Urunan & pajak umum
 Pajak umum & pajak daerah

Pembagian Menurut Prof. Adriani
Prof. Adriani sangat mengutamakan pembagian pajak berdasarkan ciri-ciri yang mempunyai arti prinsip & menyimpulkan bahwa pembedaan antara pajak subjektif & pajak objektif sangat tepat. Sebaliknya ia tidak menyetujui pemakaian istilah seperti pajak pribadi & pajak kebendaan.
Pajak subjektif & pajak objektif, yang dimaksud pajak subjektif adalah pajak yang memperhatikan pertama-tama keadaan pribadi wajib pajak. Golongan pajak subjektif adalah pajak pendapatan atas penduduk indonesia & pajak kekayaan atas penduduk Indonesia, serta pajak yang dipungut dari badan-badan.
Pajak objektif pertama-tama melihat pada objeknya (benda,keadaan,perbuatan atau peristiwa yang menyebabkan timbulnya kewajiban membayar pajak) kemudian baru dicari subjeknya baik yang berkediaman di Indonesia maupun tidak. Golongan pajak objektif diantaranya:
a. Pajak yang dipungut karena keadaan diantaranya pajak kekayaan, pajak pendapatan, pajak karena menggunakan benda yang kena pajak.
b. Pajak yang dipungut karena perbuatan diantaranya pajak lalu lintas kekayaan, pajak lalu lintas hukum, pajak lalu lintas barang, serta pajak atas pamakaian.
c. Pajak yang dipungut karena peristiwa diantaranya bea pemindahan di Indonesia contohnya pemindahan harta warisan.

Pembagian pajak ke dalam pajak langsung & pajak tidak langsung
Pajak langsung & tidak langsung.pajak langsung ialah pajak yang dipungut secara periodik menurut kohir (daftar piutang pajak) yang sesungguhnya tidak lain dari tindasan-tindasandari surat-surat ketetapan pajak.
Sedangkan pajak tidak langsung adalah pajak yang dipungut kalau pada suatu saat terdapat suatu peristiwa atau perbuatan & pajak ini tidak ada kohirnya.

Pembagian Menurut Prof. Smeets
Prof. Smeets membedakan antara urunan dan pajak-pajak umum.
Urunan, mempunyai sifat yang sama dengan retribusi karena keduanya dapat dianggap sebagai pengganti kerugian untuk jasa-jasa yang diperoleh dari pemerintah.
Pajak umum. Pajak ini dibagi dalam 7 golongan yakni:
a. Pajak-pajak perorangan atas sisa-sisa yang di dalamnya termasuk pajak pendapatan atas penduduk.
b. Pajak-pajak kebendaaan atas sisa-sisa yang di dalamnya termasuk pajak pendapatan atas bukan penduduk, pajak perseroan, pajak upah, verponding bukan bangunan.
c. Pajak-pajak atas kekayaan.
d. Pajak-pajak atas tambahnya kekayaan.
e. Pajak langsung atas pemakaian seperti pajak rumah tangga, pajak anjing, bea lelang.
f. Pajak tidak langsung atas pemakaian bea masuk.
g. Pajak-pajak yang menaikkan ongkos-ongkos produksi.

ASAS-ASAS PEMUNGUTAN PAJAK

Umum
Hukum bertugas membuat adanya keadilan, sesuai dengan hukum itu tujuan hukum pajak pun adalah membuat adanya keadilan dalam pemungutan pajak. Dalam mencari keadilan tersebut salah satu cara yang harus ditempuh ialah mengusahakan agar supaya pemungutan pajak diselenggarakan secara umum & merata.
Pada abad ke-18, Adam Smith (1723-1790) dalam bukunya An Inquiry Into the Nature and Causes of the Wealth of Nations (Wealth of Nations) melancarkan ajarannya sebagai asas pemungutan pajak yang dinamainya the Four of Maxims:
• Equality, tidak ada diskriminasi terhadap wajib pajak.
• Certainty, pajak yang dibayar harus terang. Kepastian hukum yang dipentingkan adalah mengenai subje-objek, besarnya pajak, dan juga ketentuan mengenai waktu pembayaranya
• Convenience of Paymen, menetapkan pajak hendaknya dipungut pada saat yang paling baik bagi para wajib pajak.
• Efisiensi, pemungutan pajak hendaknya dilakukan sehemat-hematnya.
Selain asas keadilan, Hofstra juga mengemukakan kesimpulan dari “The Four Maxims”, yaitu asas keadilan dalam maxim pertama, asas yuridis dalam maxim ke-2, asas ekonomis dan financial dalam maxim ke-3 dan ke-4.

Asas-asas Menurut Falsafah Hukum
Menurut falsafah hukum pajak harus mengabdi pada keadilan. Teori-teori yang digunakan diantaranya: Teori asuransi, teori kepentingan, teori gaya pikul, teori kewajiban pajak mutlak atau teori bakti, dan teori asas gaya beli.

Asas Yuridis
Hukum pajak harus dapat memberikan jaminan hukum yang perlu untuk menyatakan keadilan yang tegas, baik untuk negara maupun untuk warganya.
Asas Ekonomis
Politik pemingutan pajak jangan sampai menghambat keseimbangan & mengganggu kehidupan ekonomi.

Asas Finansial
Biaya-biaya untuk mengenakan & memungutnya harus sekecil-kecilnya apalagi dibandingkan dengan pendapatannya.

Asas Rechts Filosofis
Merupakan asas pembenaran pemungutan pajak oleh negara. Ada beberapa teori:
a.teori asuransi : pajak diumpamakan dengan premi asuransi.
b.teori kepentingan( aequivalentie) : negara telah melindungi kepentingan rakyat.
c.teori kewajiban pajak mutlak : pemerintah memberi kehidupan kepada rakyatnya, sehingga pemerintah boleh membebani rakyat dengan kewajiban-kewajiban.
d.teori daya beli : uang yang berasal dari rakyat(pajak) dikembalikan lagi kepada rakyat tetapi dengan saluran lain.
e.teori pancasila : berdasarkan asas gotong royog dan kekeluargaan, diamana pengorbanan anggota keluarga untuk kepentinagn keluarga tanpa imbalan.

Selengkapnya...

Sabtu, 11 April 2009

Asas Pengenaan Pajak di Indonesia

AZAS-AZAS PEMUNGUTAN PAJAK

Untuk mencapai tujuan pajak perlu memegang teguh azas-azas pemungutan dalam memilih alternatif pemungutannya. Sehingga terdapat keserasian pemungutan pajak dengan tujuan dan azas yang masih diperlukan lagi yaitu pemahaman atas perlakuan pajak tertentu.
Sedangkan tujuan dari adanya azas pemungutan pajak ini adalah untuk menjaga agar pemungutan pajak tidak mengganggu kemajuan ekonomi. Nmaun, dimungkinkan kebijaksanaan pemerintah justru dibuat untuk mempengaruhi konsumsi masyarakat,
Azas pemungutan pajak ini terbagi ke dalam beberapa bentuk, yaitu:



A. Azas yuridis
Menurut azas ini untuk menyatakan keadilan hukum pajak harus memberikan jaminan kepada negara atau warganya. Dengan kata lain, hukum pajak harus dapat memberikan jaminan hukum bagi tercapainya keadilan, dan jaminan ini diberikan kepada pihak-pihak yang tersangkut di dalam pemungutan pajak, yakni pihak fiscus dan wajib pajak. Oleh karena itu, pemungutan pajak harus didasarkan pada undang-undang. Landasan hukum pemungutan pajak di Indonesia adalah Pasal 23A Amandemen Undang-Undang Dasar 1945.
B. Azas Ekonomis
Perlu kita ingat bahwa pajak di samping mempunyai fungsi budgeter juga mempunyai fungsi mengatur. azas ekonomi ini lebih menekankan pada pemikiran bahwa negara menghendaki agar kehidupan ekonomi masyarakat terus meningkat. Untuk itu, pemungutan pajak harus diupayakan tidak menghambat kelancaran ekonomi sehingga kehidupan ekonomi tidak terganggu.
C. Azas Finansial
Berkaitan dengan hal ini, fungsi pajak yang terpenting adalah fungsi budgeternya, yakni untuk memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke dalam kas negara. Sehubungan dengan itu, agar hasil yang diperoleh besar, maka biaya pemungutannya harus sekecil-kecilnya.
Mengingat bahwa apajak merupakan pungutan paksa yang dilakukan oleh pemerintah, maka suatu pungutan pajak harus memenuhi azas-azas sebagai berikut:
 Azas legal, di mana setiap pungutan pajak harus didasarkan pada undang-undang. Dalam system perpajakan di Indonesia, (sebagaimana disebutkan sebelumnya, hal tersebut dinyatakan secara eksplisit dalam Pasal 23A UUD 1945 yang menyatakan bahwa: “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.
 Azas kepastian hokum, di mana ketentuan-ketentuan perpajakan tidak boleh menimbulkan keragu-raguan, kebingungan, harus jelas dan mempunyai satu pengertian sehingga tidak bersifat ambigius. Ketentuan pajak yang dapat ditafsirkan ganda akan menimbulkan celah-celah (loopholes) yang dapat dimanfaatkan oleh para penyelundup pajak.
 Azas efisien, di mana pajak yang dipungut dari masyarakat kemudian digunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan administrasi pemerintahan dan pembangunan. Oleh karena itu, suatu jenis pungutan pajak harus efisien, jangan sampai biaya pungutannya justru lebih besar apabila dibandingkan dengan hasil penerimaan pajak itu sendiri.
 Azas non-distorsi, yakni bahwa pajak harus tidak menimbulkan adanya distorsi di dalam masyarakat terutama distorsi ekonomi. Pengenaan pajak seharusnya tidak menimbulkan kelesuan ekonomi, mis-alokasi, sumber-sumber daya dan inflasi.
 Azas kesederhanaan, ini berarti bahwa aturan-aturan pajak harus dibuat secara sederhana sehingga mudah dimengerti baik oleh fiscus, maupun wajib pajak, sebagai pihak-pihak yang terkait dalam hubungan pajak.
 Azas adil, berarti bahwa alokasi beban pajak pada berbagai golongan masyarakat harus mencerminkan keadilan. Mengenai hal ini dapat dilihat dari: kemampuan membayar dari wajib pajak (ability to pay), dan prinsif benefit (benefit principle).
D. Azas Rechsfilosofis (Falsafah hukum)
Azas ini mencari dasar pembenaran terhadap pengenaan pajak oleh negara. Pertanyaan mendasar yang ingin dicari jawabannya dari azas ini adalah: “Mengapa negara mengenakan pajak terhadap rakyat?” atau “Atas dasar apa Negara menpunyai kewenangan memungut pajak dari rakyat?”.
Terhadap permasalahan ini ada beberapa jawaban yang ada di dalam beberapa teori:
 Teori asuransi
Dalam teori asuransi diperlukan pembayaran premi. Premi tersebut dimaksudkan sebagai pembayaran atas usaha melindungi orang dari segala kepentinngannya, misalnya keselamatan atau keamanan harta bendanya. Teori asuransi ini menyamakan pembayaran premi dengan pembayaran pajak. Walaupun kenyataannya menyatakan dengan premi tersebut tidaklah tepat. Dan karena mengandung banyak kelemahan teori ini ditinggalkan.
 Teori kepentingan.
Pada teori kepentingan ini memperhatikan beban pajak yang harus dipungut dari masyarakat. Pembebanan ini harus didasarkan pada kepentingan setiap orang pada tugas pemerintah termasuk perlindungan jiwa dan hartanya. Oleh karena itu, pengeluaran negara untuk melindunginya dibebankan kepada masyarakat.
 Teori kewajiban pajak mutlak/Teori bakti
Teori ini berdasarkan pada negara mempunyai hak mutlak untuk memungut pajak. Di lain pihak, masyarakat menyadari bahwa pembayaran pajak sebagai suatu kewajiban untuk membuktikan tanda baktinya terhadap negara. Dengan demikian dasar hukum pajak terletak pada hubungan masyarakat dengan negara
 Teori daya beli
Dalam teori ini berdasarkan bahwa penyelenggaraan keoentingan masyarakat yang dianggap sebagai dasar keadilan pemungutan pajak yang bukan kepentingan individu atau negara, sehingga lebih menitikberatkan pada fungsi mengatur.
 Teori pembenaran pajak menurut Pancasila
Pancasila mengandung sifat kekeluargaan dan gotong royong. Gotong royong dalam pajak tidak lain daripada pengorbanan setiap anggota keluarga (masyarakat) untuk kepentingan bersama tanpa mendapatkan imbalan. Jadi menurut Pancasila pungutan pajak dapat dibenarkan karena pembayaran pajka dipandang sebagai uang yang tidak keluar dari lingkungan masyarakat tempat di mana wajib pajak hidup. Jadi, akhirnya untuk diri sendiri, untuk kesejahteraan sendiri, dan untuk masyarakat sendiri.

AZAS-AZAS PENGENAAN PAJAK

Azas pengenaan pajak ini mencari jawaban atas permasalan siapa/pemerintah negara mana yang berwenang memungut pajak terhadap suatu sasaran pajak tetentu. Dalam hal ini pembicaraan menyangkut yurisdiksi dari suatu negara, berhadapan dengan negara lain. Terhadap permasalahan tersebut ada beberapa jawaban sebagai berikut:

A. Azas Nasionalitas
Pengenaan pajak dihubungkan dengan suatu negara. Jadi, pemajakan dilakukan oleh negara asal wajib pajak. Yang dikenakan pajak adalah semua orang yang berkewargaan negara tersebut, tanpa memandang tempat tinggalnya.

B. Azas Domicili
Negara-negara mempunyai hak untuk memungut atas seluruh penghasilan Wajib Pajak berdasarkan tempat tinggal Wajib Pajak. Wajib Pajak yang bertempat tinggal di Indonesia dikenai pajak atas penghasilan yang diterima ataupun diperoleh, yang berasal baik dari dalam maupun luar Indonesia (Pasal 4 Undang-undang Pajak Penghasilan).

C. Azas Sumber
Azas negara sumber mendasarkan pemajakan pada tempat di mana sumber itu berada, seperti adanya suatu perusahaan, kekayaan, atau tempat kegiatan di suatu negara. Dengan demikian Wajib Pajak menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia dikenakan pajak di Indonesia tanpa memperhatikan tempat tinggal si Wajib Pajak.

FUNGSI PAJAK

Sebagaimana telah diketahui ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak dari berbagai definisi, terlihat adanya dua fungsi pajak yaitu:

1. Fungsi Penerimaan (Budgeteir)
Pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran pemerintah. Sebagai contoh yaitu dimasukkannya pajak dalam APBN sebagai penerimaan dalam negeri.

2. Fungsi Mengatur (Reguler)
Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan di bidang sosial dan ekonomi. Sebagai contoh, yaitu dikenakannya pajak yang lebih tinggi terhadap minuman keras, dapat ditekan. Demikian pula terhadap barang-barang mewah.

UTANG PAJAK DAN STELSEL PEMUNGUTAN PAJAK

Pengertian Utang Pajak
Menurut Rochmat Soemitro, utang pajak adalah utang yang timbulnya secara khusus karena negara (kreditur) terikat dan tidak dapat memilih secara bebas siapa yang akan dijadikan debiturnya, seperti dalam hokum perdata. Hal ini terjadi karena utang pajak lahir karena undang-undang.

Ajaran-Ajaran Mengenai Timbulnya Utang Pajak
Mengenai cara dan saat lahirnya utang pajak dikenal adanya dua ajaran, yakni ajaran formal dan ajaran material.
Utang pajak menurut ajaran material, timbul dengan sendirinya karena pada saat yang ditentukan oleh undang-undang sekaligus dipenuhi syarat subjek dan syarat objek. “Dengan sendirinya” artinya bahwa untuk timbulnya utang pajak itu tidak diperlukan campur tangan atau perbuatan dari pejabat pajak, asal syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang telah dipenuhi.
Adapun menurut ajaran formal, utang pajak timbul karena undang-undang pada saat-saat dikeluarkan Surat Ketetapan Pajak oleh Direktur Jenderal Pajak. Dalam hal ini lahirnya utang pajak terjadi karena undang-undang sebagai akibat perbuatan manusia, yakni perbuatan dari aparatur pajak untuk mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak. Jadi, selama belum ada Surat Ketetapan Pajak, maka belum ada utang pajak dan tidak akan dilakukan penagihan walaupun syarat subjek dan syarat objek telah dipenuhi bersamaan.

Stelsel Pemungutan Pajak
Cara pemungutan pajak dilakukan berdasarkan tiga jenis stelsel, yaitu:
 Stelsel nyata (riil stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan) yang nyata, sehingga pemungutannya baru dapat dilaksanakan pada akhir tahun pajak, yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya telah dapat diketahui. Kelebihan stelsel ini adalah vpajak yang dikenakan lebih realistis. Kelemahannya adalah pajak baru dapat dikenakan pada akhir periode (setelah penghasilan riil diketahui)
 Stelsel anggapan (fictive stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-undang, sebagai contoh, penghasilan satu tahun dianggap sama dengan tahun sebelumnya sehingga pada awal tahun pajak telah dapat ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan. Kelebihan stelsel ini adalah pajak yang dibayar selama tahun berjalan, tanpa harus menunggu akhir tahun. Kelemahannya adalah pajak yang dibayar tidak berdasarkan pada keadaan yang sesungguhnya.
 Stelsel campuran
Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dengan stelsel anggapan. Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan. Kemudian pada akhir tahun besarnya apajak disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya. Apabila besarnya pajak menurut menurut kenyataan lebih besar dari pada pajak menurut anggapan, maka si Wajib Pajak harus menambah kekurangannya. Demikian pula sebaliknya, apabila lebih kecil maka kelebihannya dapat diminta kembali.

Sistem/Cara Pemungutan Pajak
Sistem pemungutan pajak dapat dibagi menjadi:
o Official assessment system
Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiscus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang.
Ciri-ciri sistem ini adalah:
1. Wewenang untuk menentukan besarnya apjak terutang berada pada fiscus
2. Wajib Pajak bersifat pasif
3. Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiscus

o Self assessment system
Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar.
Ciri-ciri dari system ini adalah:
1. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada wajib pajak sendiri.
2. Wajib pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang
3. Fiscus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.

o With holding system
Sistem ini merupakan system pemungutan pajak memberi memberi wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.

Dasar Hapusnya Utang Pajak
Di dalam Hukum Perdata, mengenai hapusnya perikatan diatur di dalam Pasal 1381 KUHPerdata.Adapun penyebab hapusnya utang pajak tersebut adalah:
1. Pembayaran.
2. Penawaran pembayaran yang diikuti dengan penitipan
3. Pembaharuan utang
4. Kompensasi utang
5. Percampuran utang
6. Pembebasan utang
7. Musnahnya barang yang terutang
8. Pembatalan, atau batal demi hukum
9. Dipenuhi syarat batal
10. Daluarsa.


Selengkapnya...

Cara dan Aturan Pajak di Indonesia

Pajak adalah merupakan kontribusi (iuran) wajib kepada negara yang terhutang oleh orang pribadi atau suatu badan yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum yang berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan tugas pemerintahan.
Namun sebagai suatu

bentuk kontribusi rakyat/masyarakat kepada negaranya, dalam pelaksanaannya justru masih banyak terdapat menimbulkan pertanyaan di benak masyarakat.. Tak bisa kita pungkiri bahwa peraturan perundang-undangan perpajakan yang merupakan landasan pemungutan pajak yang selama ini berlaku, sebagian besar masih merupakan warisan kolonial, yang pada saat itu tujuannya semata-mata hanyalah untuk menambah kekayaan pemerintah penjajah guna memperkuat kekuasaannya di indonesia. Oleh karenanya pemungutan pajak pada saat itu dirasakan rakyat sebagai beban yang sangat berat. Hal itu dikarenakan dalam hal aturan dan kebijakan-kebijakannya dibuat diluar rasa keadilan, dan tanpa menghiraukan kemampuan dan kesanggupan rakyat.
Untuk itulah, dalam makalah ini saya ingin menjelaskan tentang sistem, mekanisme, dan tata cara pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan yang sederhana. Adapun dasar hukum yang digunakan dalam penjelasannya nanti adalah Undang-Undang No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, sebagaimana kemudian telah diubah dengan Undang-Undang No.16 Tahun 2000. Namun dengan berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007, dengan tetap menganut sistem self assessment, yang berkaitan dengan peningkatan keseimbangan hak dan kewajiban bagi masyarakat Wajib Pajak sehingga mereka sebagai si Wajib Pajak dapat melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya dengan lebih baik.

A. Pengertian-pengertian Dalam Ketentuan Umum
Dengan mengacu pada Pasal 1 Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pengertian yang dimaksud antara lain meliputi:
1. Wajib Pajak (WP) adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungutan pajak atau pemotongan pajak tertentu.
2. Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi politik, atau organisasi sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap, dan bentuk badan lainnya.
3. Masa Pajak adalah jangka waktu yang lamanya sama dengan satu bulan takwim atau jangka waktu lainnya yang ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan paling lama 3 (tiga) bulan takwim.
4. Tahun Pajak adalah jangka waktu satu tahun takwim kecuali jika Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun takwim.
5. Bagian Tahun Pajak adalah bagian dari jangka waktu satu tahun pajak.
6. Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam masa pajak, dalam tahun pajak, atau dalam bagian tahun pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
7. Penanggung pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

B. Mekanisme
 Kewajiban mendaftarkan diri
Sesuai dengan Pasal 2 Undang-undang Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, maka Setiap Wajib Pajak wajib mendaftarkan dirinya pada Kantor Direktorat Jenderal pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak .
Yang dimaksud dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) adalah nomor yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak kepada Wajib Pajak sebagai sarana administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
Oleh karena itu, kepada setiap Wajib Pajak hanya diberikan satu NPWP. Fungsi dari NPWP tersebut adalah:
a. Untuk mengetahui identitas Wajib pajak;
b. Untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan dalam pengawasan administrasi perpajakan;
c. Untuk keperluan yang berhubungan dengan dokumen perpajakan;
d. Untuk memenuhi kewajiban perpajakan, misalnya dalam pengisian SSP;
e. Untuk mendapatkan pelayanan dari instansi-instansi tertentu yang mewajibkan pencantuman NPWP dalam dokumen yang diajukan. Misal : Dokumen Impor (PPUD, PIUD). Setiap WP hanya diberikan satu NPWP.
Selain fungsi-fungsi tersebut, NPWP juga digunakan untuk mengetahui identitas WP yang sebenarnya, juga berguna untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan dalam pengawasan administrasi perpajakan. Setiap WP dalam hal yang berhubungan dengan dokumen perpajakan diharuskan mencantumkan NPWP yang dimilikinya. Adapun bagi WP yang memiliki lebih dari satu tempat tinggal/tempat kedudukan maka harus melapor/memberitahukan hal tersebut kepada Direktorat Jenderal Pajak untuk kemudian ditetapkan di daerah mana si WP tersebut harus mendaftarkan diri.
Adapun tempat pendaftaran Wajib Pajak/pelaporan Pengusaha Tertentu:
a. Seluruh WP BUMN dan WP BUMD di wilayah DKI Jakarta: di KPP BUMN Jakarta;
b. WP PMA tidak Go Public: di KPP PMA, kecuali yang telah terdaftar di KPP lama dan WP PMA di Kawasan Berikat dengan permohonan diberikan kemudahan mendaftar di KPP setempat;
c. WP Badan dan Orang Asing: di KPP Badora;
d. WP Go Public: di KPP Perusahaan Masuk Bursa (Go Public), kecuali WP BUMN/BUMD serta WP PMA yang berkedudukan di kawasan berikat;
e. WP BUMD di luar DKI Jakarta: di KPP setempat;
f. Untuk WP BUMN/BUMD, PMA, Badora, Go Public di luar DKI Jakarta, khusus PPh Pemotongan/Pemungutan dan PPN/PPnBM: di KPP tempat cabang atau kegiatan usaha.

Dalam usaha memperoleh NPWP, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi. Di antara persyaratan-persyaratan tersebut adalah:
a. Untuk WP Orang Pribadi Non-Usahawan:
• Fotocopy KTP/Kartu Keluarga/SIM/Paspor.
b. Untuk WP Orang Pribadi Usahawan:
• Fotocopy KTP/Kartu Keluarga/SIM/Paspor;
• Fotocopy Surat Izin Usaha atau Surat Keterangan Tempat Usaha dari instansi yang berwenang.
c. Untuk WP Badan:
• Fotocopy akte pendirian;
• Fotocopy KTP salah seorang pengurus;
• Fotocopy Surat Izin Usaha atau Surat Keterangan Tempat Usaha dari instansi yang berwenang.
d. Untuk Bendaharawan sebagai Pemungut/Pemotong:
• Fotocopy surat penunjukan sebagai bendaharawan;
• Fotocopy tanda bukti diri KTP/Kartu Keluarga/SIM/Paspor.
e. Apabila wajib pajak pemohon berstatus cabang, maka harus melampirkan fotocopy kartu NPWP atau Bukti Pendaftaran wajib pajak Kantor Pusatnya. Apabila permohonan ditandatangani oleh orang lain, perlu dilengkapi surat kuasa.

Dan tata cara mendaftarkan diri dan melaporkan usaha bagi wajib pajak adalah dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Mengisi formulir pendaftaran dan melampirkan kelengkapannya;
b. Menyampaikan secara langsung atau melalui pos ke Kantor Pelayanan Pajak setempat.

Apabila kemudian terdapat adanya perubahan data, maka si wajib pajak wajib memberitahukannya untuk kemudian dilakukan perubahan/pergantian. Adapun hal-hal yang berkenaan dengan perubahan data tersebut adalah:
a. Perbaikan data karena kesalahan data hasil komputer;
b. Perubahan nama wajib pajak karena penggantian nama, disyaratkan adanya keterangan dari instansi yang berwenang;
c. Perubahan alamat wajib pajak karena perpindahan tempat tinggal;
d. Perubahan NPWP karena adanya kesalahan nomor (misalnya NPWP cabang tidak sama dengan NPWP Pusat);
e. Perubahan status usaha wajib pajak dilampiri pernyataan tertulis dari WP atau fotocopy akte perubahan;
f. Perubahan jenis usaha karena ada perubahan kegiatan usaha wajib pajak;
g. Perubahan bentuk Badan;
h. Perubahan jenis pajak karena sesuatu hal yang mengakibatkan kewajiban jenis pajaknya berubah;
i. Penghapusan NPWP dan/atau pencabutan NPPKP karena dipenuhinya persyaratan yang ditentukan;

Setelah melalukan pemberitahuan tentang adanya perubahan data, kemudian ada tata cara pembetulan data wajib pajak. Tata cara tersebut adalah:
a. Mengisi formulir perubahan/mutasi data wajib pajak yang diambil secara langsung atau meminta melalui pos dari KPP/KP4 dan menyampaikan formulir tersebut secara langsung atau melalui pos ke KPP/KP4 yang bersangkutan, atau
b. Melalui formulir SPT Tahunan.

Sebagai sesuatu yang bisa dilahirkan (diadakan), maka Nilai Pokok Wajib Pajak pun suatu saat nanti bisa dihilangkan (dihapuskan). Penghilangan (penghapusan) NPWP tersebut dilakukan dalam hal-hal yang berhubungan dengan:
a. Wajib Pajak orang pribadi meninggal dan tidak meninggalkan warisan;
b. Wanita kawin tidak dengan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan;
c. Warisan yang belum terbagi dalam kedudukan sebagai Subjek Pajak sudah selesai dibagi;
d. Wajib Pajak badan yang telah dibubarkan secara resmi berdasarka ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
e. Bentuk usaha tetap yang karena sesautu hal kehilangan statusnya sebagai bentuk usaha tetap;
f. Wajib Pajak orang pribadi lainnya selain yang dimaksud dalam huruf a dan huruf b yang tidak memenuhi syarat lagi sebagai Wajib Pajak.

Terhadap Wajib Pajak yang tidak mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP akan dikenakan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 39 Undang-undang No.6 Tahun 1983, yaitu: “Barang siapa yang dengan sengaja tidak mendaftarkan diri atau menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NPWP sehingga dapat menimbulkan kerugian pada negara, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya enam tahun dan/atau denda setinggi-tingginya sebesar empat kali jumlah pajak yang terhutang atau yang kurang atau yang tidak dibayar”.

 Kewajiban Menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT)
Setiap Wajib Pajak wajib mengisi SPT, menandatangani dan menyampaikan/mengembalikan ke KPP di mana Wajib Pajak bersangkutan berdomisili.
Menurut Pasal 1, angka 10 Undang-undang No.16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyebutkan bahwa Surat Pemberitahuan (SPT) adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan atau pembayaran pajak, Objek Pajak dan atau bukan Objek Pajak dan atau harta dan kewajiban, menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan .
Adapun fungsi SPT dapat dilihat dari Wajib Pajak, Pengusaha Kena Pajak atau Pemotong/Pemungut Pajak sebagai berikut:
1. Fungsi SPT bagi Wajib Pajak Penghasilan
a. Sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggung jawabkan perhitungan pertambahan jumlah pajak yang sebenarnya terutang;
b. Untuk melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak yag telah dilaksanakan sendiri dan atau melalui pemotongan pajak atau pemungutan pajak lain dalam satu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak.
c. Untuk melaporkan pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan atau pemungutan pajak orang pribadi atau badan lain dalam satu Masa Pajak, yang ditentukan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

2. Fungsi SPT bagi Pengusaha Kena Pajak
a. Sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang sebenarnya terutang.
b. Untuk melaporkan pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran
c. Untuk melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan oleh Pengusaha Kena Pajak dan atau melaluipihak lain dalam satu Masa Pajak, yang ditentukan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku

3. Fungsi SPT bagi Pemotong atau pemungut Pajak
Sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau dipungut dan disetor

Setelah kita mengetahui fungsi-fungsi dari SPT, maka selanjutnya kita akan membahas mengenai prosedur penyelesaiannya. Mengenai hal ini ada beberapa prosedur yang harus dilakukan yaitu:
a. Wajib Pajak harus mengambil sendiri blangko SPT pada Kantor Pelayanan Pajak setempat (dengan menunjukkan NPWP)
b. SPT harus diisi dengan benar, jelas dan lengkap sesuai dengan petunjuk yang diberikan. Pengisian formulir SPT yang tidak benar akan mengakibatkan pajak yang terutang kurang dibayar, akan dikenakan sanksi perpajakan
c. SPT diserahkan kembali ke Kantor Pelayanan Pajak yang bersangkutan dalam batas waktu yang ditentukan , dan akan diberikan tanda terima tertanggal. Apabila SPT dikirim melalui Kantor Pos harus dilakukan secara tercatat, dan tanda bukti serta tanggal pengiriman dianggap sebagai tanda bukti dan tanggal penerimaan
d. Bukti-bukti yang harus dilampirkan pada SPT antara lain:
 Untuk Wajib Pajak yang mengadakan pembukuan; Laporan Keuangan berupa neraca dan laporan rugi laba serta keterangan-keterangan lain yang diperlukan untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak
 Untuk SPT Masa PPN sekurang-kurangnya memuat jumlah Dasar Pengenaan Pajak, jumlah Pajak Keluaran, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, dan jumlah kekurangan atau kelebihan pajak.
 Wajib Pajak yang menggunakan norma perhitungan; perhitungan jumlah peredaran yang terjadi dalam tahun pajak yang bersangkutan.

Apabila kemudian dalam pengisian SPT ternyata terdapat kesalahan, maka Wajib Pajak dapat melakukan pembetulan atas kemauan sendiri dengan menyampaikan pernyataan tertulis dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sesudah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, dengan syarat:
a. Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan. Pembetulan SPT tersebut berakibat utang pajak menjadi lebih besar, maka dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian SPT berakhir sampai dengan tanggal pembayaran karena pembetulan SPT.
b. Telah dilakukan tindakan pemeriksaan, tetapi belum dilakukan tindakan penyidikan. Selanjutnya, Wajib Pajak dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran perbauatan dengan disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar dua kali jumlah pajak yang kurang dibayar.

Sekalipun jangka waktu pembetulan SPT telah berakhir, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan surat ketetapan pajak, Wajib Pajak dengan kesadaran sendiri dapat mengungkapkannya dalam suatu laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian SPT atas pengungkapan Wajib Pajak berakibat:
a. Pajak-pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar; atau
b. Rugi berdasarkan ketentuan perpajakan menjadi lebih kecil; atau
c. Jumlah harta menjadi lebih besar; atau
d. Jumlah modal menjadi lebih besar.

Pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT tersebut, beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak yang kurang dibayar, harus dilunasi sebelum laporan disampaikan.
Terdapat dua jenis Surat Pemberitahuan (SPT), yaitu Surat Pemberitahuan Masa dan Surat Pemberitahuan Tahunan. Surat Pemberitahuan Masa adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan atau pembayaran pajak yang terutang dalam suatu Masa Pajak atau pada suatu saat. Adapun Surat Pemberitahuan Tahunan adalah Surat Pemberitahuan yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan pembayaran pajak yang terutang dalam suatu Tahun Pajak.
Dalam kaitannya dengan pengisian dan pengembalian SPT pajak, terdapat Wajib Pajak tertentu yang tidak diwajibkan untuk mengisi dan mengembalikan SPT itu. Pada prinsipnya setiap Wajib Pajak atas Pajak Penghasilan diwajibkan menyampaikan Surat Pemberitahuan. Dengan pertimbangan efisiensi atau pertimbangan lainnya, Menteri Keuangan dapat menetapkan Wajib Pajak untuk Pajak Penghasilan yang dikecualikan dari kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan, misalnya Wajib Pajak orang pribadi yng menerima atau memperoleh penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak namun karena kepentingan tertentu diwajibkan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak . Demikian pula untuk Wajib Pajak Luar Negeri juga tidak diwajibkan untuk mengisi dan mengembalikan SPT.
Sebagai salah satu bentuk diterapkannya self assessment system, di mana Wajib Pajak tidak dilayani dan bersikap pasif, melainkan harus bersikap aktif, dalam hal ini bahkan untuk mengambil blanko SPT di tempat yang telah ditetapkan. Blanko SPT yang telah diambil oleh Wajib Pajak itu harus diisi dengan lengkap, jelas dan benar. Lengkap dalam arti semua data dan keterangan yang diminta, dipenuhi sesuai dengan permintaan di dalam kolom yang disediakan. Jelas berarti bahwa informasi yang dimasukkan dalam SPT tersebut harus ditulis dengan jelas dan mudah dipahami. Dan benar berarti sesuai dengan yang seharusnya.
Kebenaran isi SPT ini sangat penting karena dengan berdasarkan keterangan itu pula utang pajak dari Wajib Pajak yang bersangkutan ditetapkan. Oleh karena itu terhadap kesalahan pengisian SPT yang menimbulkan kerugian negara di dalam Undang-undang dianggap sebuah tindak pidana. Apabila keterangan yang dimasukkan dalam SPT itu tidak benar atau tidak lengkap, yang disebabkan kealpaan dari Wajib Pajak , maka kepada Wajib Pajak yang bersangkutan dapat dikenakan sanksi pidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling tinggi dua kali jumlah pajak yang terutang yang tidak atau kurang dibayar. Sementara jika ketidakbenaran itu karena kesengajaan Wajib Pajak , maka ancaman hukumannya lebih berat, yakni pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali pajak yang terutang yang tidak atau kurang dibayar .
Setelah SPT itu diisi, Wajib Pajak wajib menandatangani SPT tersebut untuk kemudian menyampaikan kembali ke Kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar. Penandatangan tersebut dilakukan oleh pengurus atau direksi yang mewakili badan dimaksud. Dalam hal SPT ditandatangani oleh orang lain selain Wajib Pajak dan Penanggung Pajak, maka harus disertai dengan surat kuasa. Penyampaian kembali SPT yang sudah diisi tersebut diberikan batas waktu tertentu. Sesuai dengan Pasal 3 ayat 3 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, batas waktu penyampaian SPT diatur:
 Untuk SPT Masa, paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah akhir masa pajak;
 Untuk SPT Tahunan, paling lambat 3 (tiga) bulan setelah akhir tahun pajak.

Namun terkadang meskipun batas waktu penyampaian SPT telah ditetapkan, tetapi Wajib Pajak (khusus SPT Tahunan) dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian SPT Tahunan dengan mengajukan surat permohonan perpanjangan batas waktu penyampaian SPT Tahunan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan disertai:
1. Alasan-alasan penundaan penyampaian SPT Tahunan
2. Surat pernyataan perhitungan sementara pajak yang terutang dalam satu tahun pajak
3. Bukti pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang terutang menurut perhitungan sementara tersebut.
Dan apabila permohonan Wajib Pajak tersebut disetujui untuk paling lama 6 (enam) bulan dan ternyata penghitungan sementara pajak selama 1 (satu) tahun yang terhutang kurang dari jumlah pajak yang sebenarnya terutang, atas kekurangan pembayaran tersebut dikenakan bunga sebesar 2% sebulan yang dihitung dari batas waktu selambat-lambatnya kewajiban menyampaikan SPT Tahunan sampai dengan tanggal pembayaran.
Apabila Surat Pemberitahuan tdak disampaikan sesuai dengan batas waktu sebagaimana yang telah ditentukan, atau batas waktu perpanjangan penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan, maka kepada Wajib Pajak tersebut diterbitkan surat teguran. Selanjutnya Wajib Pajak tersebut juga dikenakan sanksi administrasi dan atau sanksi pidana.
1. Wajib Pajak yang terlambat menyampaikan SPT dikenakan sanksi administrasi berupa denda untuk SPT Masa sebesar Rp 50.000,00 dan untuk SPT Tahunan sebesar Rp 100.000,00.
2. Pasal 38 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyatakan bahwa, apabila Wajib Pajak tidak menyampaikan SPT, atau menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar karena kealpaan Wajib Pajak sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda setinggi-tingginya 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
3. Pasal 39 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyatakan apabila dengan sengaja Wajib Pajak tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT dan atau keterangan yang isinya tidak benar, atau tidak lengkap sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, diancam dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda setinggi-tingginya 4 (empat) kali jumlah pajak yang terutang yang tidak atau kurang dibayar.

 Surat Ketetapan Pajak
Surat Ketetapan Pajak (SKP) merupakan suatu keputusan dari administrasi di mana ditetapkan hubungan hukum antara pihak administrasi dan wajib pajak.
Surat Ketetapan Pajak menurut Undang-undang No. 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan adalah surat ketetapan yang meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar

a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pajak terutang, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, jumlah yang masih harus dibayar.
Direktorat Jenderal Pajak dalam jangka waktu sepuluh tahun sesudah saat terutangnya, atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak dapat menerbitkan SKPKB dalam hal:
 berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang terutang kurang atau tidak dibayar;
 SPT tidak disampaikan dalam jangka waktu ditetapkan setelah ditegur secara tertulis tidak juga disampaikan sebagaimana waktu yang ditentukan dalam surat teguran;
 berdasarkan hasil pemeriksaan mengenai Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Perdagangan Barang Mewah, ternyata tidak seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenakan tarif 0% (nol persen);
 tidak dipenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dan Pasal 29 Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Penetapan sanksi administrasi atas pengeluaran SKPKB
1. Dikeluarkan SKPKB karena alasan pada butir 1 di atas, maka jumlah kekurangan pajak terutangditambah bungan 2% sebulan dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Tahunan Pajak sampai dengan diterbitkannya SKPKB;
2. dikeluarkannya SKPKB karena alasan pada butir 2, 3, dan 4, maka dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar:
 50% dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang bayar dalam satu tahun pajak;
 100% dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dipotong, tidak atau kurang dipungut, tidak atau kurang disetorkan, dan dipotong atau dipungut tetapi tidak atau kurang disetorkan;
 100% dari Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang tidak atau kurang bayar.

b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)
Dalam Undang-undang Nomor 28 tahun 2007 pasal 1 dijelaskan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.

Seperti halnya SKPKB, maka dapat dikeluarkan apabila:
1. berdasarkan data baru atau data yang semula belum terungkap, menyebabkan pertambahan pajak yang terutang dalam surat ketetapan pajak sebelumnya,
2. ditemukan lagi data yang semula belum terungkap pada saat penerbitan SKPKBT;
3. telah pernah diterbitkaan ketetapan pajak.

Sanksi yang diterapkan atas diterbitkannya SKPKBT yaitu jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPKBT, ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan 100% dari jumlah kekurangan pajak. Apabila SKPKBT diterbitkan berdasarkan keterangan tertulis dari Wajib Pajak atas kehendaknya sendiri, dengan syarat Direktorat Jenderal Pajak belum mulai melakukan tindakan pemeriksaan sanksi administrasi berupa kenaikan tidak dikenakan.

c. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.

Pokok-pokok dalam penerbitan SKPLB:
1. Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atas nama Direktorat Jenderal Pajak menerbitkan SKPLB dalam jangka waktu selambat-lambatnya 12 bulan sejak permohonan diterima.
2. Apabila SKPLB tidak diterbitkan dalam jangka waktu selambat-lambatnya 12 bulan, maka permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dianggap dikabulkan.
3. dalam waktu sebulan sejak Surat Pemberitahuan diterima, Direktorat Jenderal Pajak menerbitkan SKPLB sesuai dengan permohonanWajib Pajak . SKPLB ii dikirim kepada Wajib Pajak dengan tembusan kepada KPP yang bersangkutan.
4. KPP menerbitkan Surat Perintah Membayar Kembali Pajak (SPMKP) dalam waktu setelah menerbitkan SKPLB.
5. Apabila Wajib Pajak mempunyai utang pajak lainnya, kelebihan pembayaran itu langsung diperhitungkan lebih dahulu. Di sampng itu, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan agar kelebihan pembayaran tersebut diperhitungkan (dikompensasi) dengan utang pajak yang akan datang.
6. apabila pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan setelah jangka waktu satu bulan sejak SKPP diterbitkan, Pemerintah memberikan bunga sebesar 2% sebulan atas kelambatan pembayaran kelebihan pajak tersebut.

d. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)
Surat Ketetapan Pajak Nihil adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak
SKPN diterbitkan apabila berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak, ternyata jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang terutang, atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak, tidak ada pembayaran pajak.

e. Surat Tagihan Pajak (STP)
Surat Tagihan Pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda.
Direktorat Jenderal Pajak dapat menerbitkan STP apabila:
1. Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar.
2. Dari hasil penelitian Surat Pemberitahuan terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan atau salah hitung
3. Wajib Pajak dikenakan sanksi admininstrasi berupa denda atau bunga.
4. Pengusaha yang dikenai pajak berdasarkan Undang-undang pertambahan nilai dan perubahannya, tetapi tidak melapor kegiatan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
5. Pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tetapi membuat faktur pajak
6. Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tetapi tidak membuat Faktur Pajak atau membuat Faktur Pajak tetapi tidak tepat waktu, atau mengisi selengkapnya Faktur Pajak.
Dengan memperhatikan masalah di atas, maka sanksi administrasi yang diterapkan yaitu:
1. Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam butir 1 dan 2 dalam STP ditambah sanksi administrasi berupa bunga 2% sebulan untuk selama-lamanya 24 bulan, terhitung sejak saat terutang pajak Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya STP.
2. Terhadap pengusaha atau Pengusaha Kena Pajak butir 4, 5, dan 6 dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% dari Dasar Pengenaan Pajak.

Adapun fungsi dari STP adalah:
a. Sebagai koreksi atas jumlah pajak yang terutang menurut SPT Wajib Pajak
b. Sebagai sarana mengenakan sanksi administrasi berupa bunga atau denda
c. Sebagai alat untuk mengaih pajak




 Pembukuan
Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan, dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi pada setiap Thaun Pajak berakhir.
Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia, wajib menyelenggarakan pembukuan.
Pembukuan atau pencatatan harus:
a. Diselenggarakan dengan i’tikad baik dan mencerminkan keadaan usaha yang sebenarnya
b. Diselenggarakan di Indonesia
c. Menggunakan huruf latin dan angka arab
d. Menggunakan satuan mata uang rupiah dan mata uang asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan
e. Dalam Bahasa Indonesia atau bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan
f. Diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan accrual basis atau cash basis. Perubahan atas metode pembukuan atau pencatatan harus mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak.

Pembukuan/pencatatan serta dokumen-dokumen lain harus disimpan selama 10 tahun. Tempat penyimpanan dokumen tersebut untuk Wajib Pajak orang pribadi, di tempat kegiatan atau tempat tinggal dan untuk Wajib Pajak badan, di tempat kedudukan.
Sanksi bagi yang tidak menyelenggarakan pembukuan adalah:
1. Tidak mengadakan pembukuan/pencatatan, pajak yang terutang ditetapkan dengan SKP ditambah sanksi administrasi berupa kenaikan 100%, dan khusus untuk PPh Pasal 29 ditambah kenaikan 50%.
2. Dengan sengaja:
a. Memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar
b. Tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan
c. Tidak memperlihatkan atau meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lainnya
Dipidana dengan penjara selama-lamanya 6 (enam) tahun dan denda setinggi-tingginya 4 (empat) kali jumlah pajak yang kurang atau tidak dibayar.

 Pemeriksaan Pajak
Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, mengolah data dan atau keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Tujuan Pemeriksaan Pajak adalah:
1. Menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan, yang dapat dilakukan dalam hal:
a. SPT menunjukkan kelebihan pembayaran pajak dan atau rugi;
b. SPT tidak disampaikan atau disampaikan tidak tepat waktu yang telah ditentukan;
c. SPT pemberitahuan memenuhi kiteria yang telah ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak;
d. Terdapat indikasi kewajiban perpajakan selain kewajiban tersebut pada butir b tidak dipenuhi.
2. Tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan pearturan perundang-undangan perpajakan, yang dapat dilakukan dalam hal:
a. Pemberian NPWP atau pencabutan NPWP;
b. Pemberian pengukuhan dan pencabutan pengukuhan;
c. Penentuan besarnya jumlah angsuran pajak dalam suatu Masa Pajak bagi Wajib Pajak baru;
d. Wajib Pajak mengajukan keberatan dan banding;
e. Pengumpulan bahan guna penyusunan Norma Penghitungan;
f. Pencocokan data dan atau alat keterangan;
g. Penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah tertentu;
h. Penentuan satu atau lebih tempat terutang PPN dan atau PPh Pasal 21;
i. Pelaksanaan ketentuan perundang-undangan perpajakan untuk tujuan selain huruf a sampai dengan huruf h. Sebagai contoh pengaduan dari pihak ketiga.

Hak Wajib Pajak Apabila Dilakukan Pemeriksaan:
1. Meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa
2. Meminta tindasan Surat Perintah Pemeriksaan Pajak
3. Menolak untuk diperiksa apabila Pemeriksa tidak dapat menunjukan Tanda Pengenal Pemeriksa dan Surat Perintah Pemeriksaan
4. Meminta penjelasan tentang maksud dan tujuan pemeriksaan
5. Meminta tanda bukti peminjaman buku-buku, catatancatatan, serta dokumen-dokumen yang dipinjam oleh Pemeriksa Pajak
6. Meminta rincian berkenaan dengan hal-hal yang berbeda antara hasil pemeriksaan dengan Surat Pemberitahuan (SPT) mengenai koreksi-koreksi yang dilakukan oleh Pemeriksa Pajak terhadap SPT yang telah disampaikan
7. Mengajukan pengaduan apabila kerahasiaan usaha dibocorkan kepada pihak lain yang tidak berhak Memperoleh lembar Asli Berita Acara Penyegelan apabila Pemeriksa Pajak melakukan penyegelan atas tempat atau ruangan tertentu.

Kewajiban Wajib Pajak Apabila Dilakukan Pemeriksaan
1. Memperlihatkan dan atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya dan dokumen lainnya yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas WAJIB PAJAK atau objek yang terutang pajak.
2. Memberi kesempatan kepada pemeriksa untuk memasuki tempat atau ruangan yang dipandang perlu oleh pemeriksa dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan.
3. Memberi keterangan yang diperlukan.

 Keberatan
Keberatan merupakan suatu cara yang dilakukan oleh Wajib Pajak kepada Direktorat Jenderal Pajak apabila merasa kurang/tidak puas atas suatu ketetapan pajak yang dikenakan kepadanya atau atas pemotongan/pemungutan oleh pihak ketiga.
Tata cara Penyelesaian Keberatan
a. Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas:
1) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB);
2) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT);
3) Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB);
4) Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN);
5) Pemotongan atau Pemungutan oleh pihak ketiga.
b. Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak terutang atau jumlah pajak yang dipotong atau dipungut atau jumlah rugi menurut perhitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan-alasan yang jelas.
c. Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat tanggal pemotongan atau pemungutan, kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
d. Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada poin b dan c tidak dianggap sebagai Surat Keberatan, sehingga tidak dipertimbangkan
e. Tanda penerimaan Surat Keberatan yang diberikan oleh pejabat Direktorat Jenderal Pajak atau tanda pengiriman Surat Keberatan melalui pos tercatat menjadi bukti penerimaan Surat Keberatan.
f. Direktorat Jenderal Pajak dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima harus memberi keputusan.
Keputusan Direktorat Jenderal Pajak dapat berupa:
 Mengabulkan seluruhnya
 Mengabulkan sebagiannya
 Menolak
 Menambah besarnya jumlah pajak yang terutang
g. Apabila dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan keberatan yang diajukan dianggap dikabulkan
h. Pengajuan Keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak
i. Apabila pengajuan keberatan dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% sebulan (maksimal 24 bulan) dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya Keputusan keberatan.


 Banding
Tata cara Penyelesaian Banding
a. Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada Pengadilan Pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak
b. Banding diajukan dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal keberatan dikeluarkan, dengan cara:
 Tertulis dalam bahasa Indonesia
 Mengemukakan alasan-alasan yang jelas dan bukti yang diperlukan
 Melampirkan salinan Surat Keputusan Keberatan
c. Putusan badan peradilan pajak merupakan putusan akhir dan bersifat tetap
d. Permohonan banding tidak menunda kewajiban pembayaran pajak yang bersangkutan
e. Apabila pengajuan banding diterima sebagian atau seluruhnya, maka kelebihan pembayaran dikembalikan dengan ditambah bunga sebesar 2% sebulan (maksimal 24 bulan) dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya Putusan Banding.

 Restitusi
Untuk dapat memperoleh kembali jumlah kelebihan pembayaran pajak dalam bentuk pengembalian pajak, atau yang sering dikenal sebagai restitusi pajak, maka Wajib Pajak yang bersangkutan harus mengajukan permohonan. Setelah melakukan pemeriksaan terhadap permohonan tersebut maka kalau memang ada kelebihan pembayaran pada suatu jenis pajak tertentu, maka akan diteliti terlebih dahulu apakah wajib pajak yang bersangkutan mempunyai utang pajak yang lainnya. Jika mempunyai kewajiban, maka hal itu harus diperhitungkan terlebih dahulu.


Tata cara pengembalian kelebihan pembayaran pajak, yaitu:
 Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan restitusi ke Direktur Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak (KPP) setempat.
 Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) dalam hal:
 Untuk PPh, jika jumlah Kredit Pajak lebih besar dari jumlah pajak yang terutang atau telah dilakukan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang;
 Untuk PPN, jika jumlah Kredit Pajak lebih besar dari jumlah pajak yang terutang atau telah dilakukan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang. Apabila terdapat pajak terutang yang dipungut oleh Pemungut PPN , maka jumlah pajak yang terutang adalah jumlah pajak Keluaran setelah dikurangi Pajak yang dipungut oleh Pemungut PPN tersebut;
 Untuk PPnBM, jika Pajak yang dibayar lebih besar dari jumlah pajak yang terutang, atau telah dilakukan pembayaran pajak yang tidak seharusnya terutang.
 SKPLB diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak paling lambat 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan diterima secara lengkap, kecuali untuk kegiatan tertentu ditetapkan lain dengan keputusan Direktur Jenderal Pajak.
 Apabila dalam jangka waktu 12 bulan sejak permohonan restitusi, Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan, maka permohonan dianggap dikabulkan, dan SKPLB diterbitkan dalam waktu paling lambat 1 (satu) bulan setelah jangka waktu berakhir.




Selengkapnya...

Terima Kasih Atas Kunjungan Anda. Silahkan Tinggalkan Komentar, Kritik dan Sarannya

  © Blogger templates Shiny by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP