Sabtu, 11 April 2009

Asas Pengenaan Pajak di Indonesia

AZAS-AZAS PEMUNGUTAN PAJAK

Untuk mencapai tujuan pajak perlu memegang teguh azas-azas pemungutan dalam memilih alternatif pemungutannya. Sehingga terdapat keserasian pemungutan pajak dengan tujuan dan azas yang masih diperlukan lagi yaitu pemahaman atas perlakuan pajak tertentu.
Sedangkan tujuan dari adanya azas pemungutan pajak ini adalah untuk menjaga agar pemungutan pajak tidak mengganggu kemajuan ekonomi. Nmaun, dimungkinkan kebijaksanaan pemerintah justru dibuat untuk mempengaruhi konsumsi masyarakat,
Azas pemungutan pajak ini terbagi ke dalam beberapa bentuk, yaitu:



A. Azas yuridis
Menurut azas ini untuk menyatakan keadilan hukum pajak harus memberikan jaminan kepada negara atau warganya. Dengan kata lain, hukum pajak harus dapat memberikan jaminan hukum bagi tercapainya keadilan, dan jaminan ini diberikan kepada pihak-pihak yang tersangkut di dalam pemungutan pajak, yakni pihak fiscus dan wajib pajak. Oleh karena itu, pemungutan pajak harus didasarkan pada undang-undang. Landasan hukum pemungutan pajak di Indonesia adalah Pasal 23A Amandemen Undang-Undang Dasar 1945.
B. Azas Ekonomis
Perlu kita ingat bahwa pajak di samping mempunyai fungsi budgeter juga mempunyai fungsi mengatur. azas ekonomi ini lebih menekankan pada pemikiran bahwa negara menghendaki agar kehidupan ekonomi masyarakat terus meningkat. Untuk itu, pemungutan pajak harus diupayakan tidak menghambat kelancaran ekonomi sehingga kehidupan ekonomi tidak terganggu.
C. Azas Finansial
Berkaitan dengan hal ini, fungsi pajak yang terpenting adalah fungsi budgeternya, yakni untuk memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke dalam kas negara. Sehubungan dengan itu, agar hasil yang diperoleh besar, maka biaya pemungutannya harus sekecil-kecilnya.
Mengingat bahwa apajak merupakan pungutan paksa yang dilakukan oleh pemerintah, maka suatu pungutan pajak harus memenuhi azas-azas sebagai berikut:
 Azas legal, di mana setiap pungutan pajak harus didasarkan pada undang-undang. Dalam system perpajakan di Indonesia, (sebagaimana disebutkan sebelumnya, hal tersebut dinyatakan secara eksplisit dalam Pasal 23A UUD 1945 yang menyatakan bahwa: “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.
 Azas kepastian hokum, di mana ketentuan-ketentuan perpajakan tidak boleh menimbulkan keragu-raguan, kebingungan, harus jelas dan mempunyai satu pengertian sehingga tidak bersifat ambigius. Ketentuan pajak yang dapat ditafsirkan ganda akan menimbulkan celah-celah (loopholes) yang dapat dimanfaatkan oleh para penyelundup pajak.
 Azas efisien, di mana pajak yang dipungut dari masyarakat kemudian digunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan administrasi pemerintahan dan pembangunan. Oleh karena itu, suatu jenis pungutan pajak harus efisien, jangan sampai biaya pungutannya justru lebih besar apabila dibandingkan dengan hasil penerimaan pajak itu sendiri.
 Azas non-distorsi, yakni bahwa pajak harus tidak menimbulkan adanya distorsi di dalam masyarakat terutama distorsi ekonomi. Pengenaan pajak seharusnya tidak menimbulkan kelesuan ekonomi, mis-alokasi, sumber-sumber daya dan inflasi.
 Azas kesederhanaan, ini berarti bahwa aturan-aturan pajak harus dibuat secara sederhana sehingga mudah dimengerti baik oleh fiscus, maupun wajib pajak, sebagai pihak-pihak yang terkait dalam hubungan pajak.
 Azas adil, berarti bahwa alokasi beban pajak pada berbagai golongan masyarakat harus mencerminkan keadilan. Mengenai hal ini dapat dilihat dari: kemampuan membayar dari wajib pajak (ability to pay), dan prinsif benefit (benefit principle).
D. Azas Rechsfilosofis (Falsafah hukum)
Azas ini mencari dasar pembenaran terhadap pengenaan pajak oleh negara. Pertanyaan mendasar yang ingin dicari jawabannya dari azas ini adalah: “Mengapa negara mengenakan pajak terhadap rakyat?” atau “Atas dasar apa Negara menpunyai kewenangan memungut pajak dari rakyat?”.
Terhadap permasalahan ini ada beberapa jawaban yang ada di dalam beberapa teori:
 Teori asuransi
Dalam teori asuransi diperlukan pembayaran premi. Premi tersebut dimaksudkan sebagai pembayaran atas usaha melindungi orang dari segala kepentinngannya, misalnya keselamatan atau keamanan harta bendanya. Teori asuransi ini menyamakan pembayaran premi dengan pembayaran pajak. Walaupun kenyataannya menyatakan dengan premi tersebut tidaklah tepat. Dan karena mengandung banyak kelemahan teori ini ditinggalkan.
 Teori kepentingan.
Pada teori kepentingan ini memperhatikan beban pajak yang harus dipungut dari masyarakat. Pembebanan ini harus didasarkan pada kepentingan setiap orang pada tugas pemerintah termasuk perlindungan jiwa dan hartanya. Oleh karena itu, pengeluaran negara untuk melindunginya dibebankan kepada masyarakat.
 Teori kewajiban pajak mutlak/Teori bakti
Teori ini berdasarkan pada negara mempunyai hak mutlak untuk memungut pajak. Di lain pihak, masyarakat menyadari bahwa pembayaran pajak sebagai suatu kewajiban untuk membuktikan tanda baktinya terhadap negara. Dengan demikian dasar hukum pajak terletak pada hubungan masyarakat dengan negara
 Teori daya beli
Dalam teori ini berdasarkan bahwa penyelenggaraan keoentingan masyarakat yang dianggap sebagai dasar keadilan pemungutan pajak yang bukan kepentingan individu atau negara, sehingga lebih menitikberatkan pada fungsi mengatur.
 Teori pembenaran pajak menurut Pancasila
Pancasila mengandung sifat kekeluargaan dan gotong royong. Gotong royong dalam pajak tidak lain daripada pengorbanan setiap anggota keluarga (masyarakat) untuk kepentingan bersama tanpa mendapatkan imbalan. Jadi menurut Pancasila pungutan pajak dapat dibenarkan karena pembayaran pajka dipandang sebagai uang yang tidak keluar dari lingkungan masyarakat tempat di mana wajib pajak hidup. Jadi, akhirnya untuk diri sendiri, untuk kesejahteraan sendiri, dan untuk masyarakat sendiri.

AZAS-AZAS PENGENAAN PAJAK

Azas pengenaan pajak ini mencari jawaban atas permasalan siapa/pemerintah negara mana yang berwenang memungut pajak terhadap suatu sasaran pajak tetentu. Dalam hal ini pembicaraan menyangkut yurisdiksi dari suatu negara, berhadapan dengan negara lain. Terhadap permasalahan tersebut ada beberapa jawaban sebagai berikut:

A. Azas Nasionalitas
Pengenaan pajak dihubungkan dengan suatu negara. Jadi, pemajakan dilakukan oleh negara asal wajib pajak. Yang dikenakan pajak adalah semua orang yang berkewargaan negara tersebut, tanpa memandang tempat tinggalnya.

B. Azas Domicili
Negara-negara mempunyai hak untuk memungut atas seluruh penghasilan Wajib Pajak berdasarkan tempat tinggal Wajib Pajak. Wajib Pajak yang bertempat tinggal di Indonesia dikenai pajak atas penghasilan yang diterima ataupun diperoleh, yang berasal baik dari dalam maupun luar Indonesia (Pasal 4 Undang-undang Pajak Penghasilan).

C. Azas Sumber
Azas negara sumber mendasarkan pemajakan pada tempat di mana sumber itu berada, seperti adanya suatu perusahaan, kekayaan, atau tempat kegiatan di suatu negara. Dengan demikian Wajib Pajak menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia dikenakan pajak di Indonesia tanpa memperhatikan tempat tinggal si Wajib Pajak.

FUNGSI PAJAK

Sebagaimana telah diketahui ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak dari berbagai definisi, terlihat adanya dua fungsi pajak yaitu:

1. Fungsi Penerimaan (Budgeteir)
Pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran pemerintah. Sebagai contoh yaitu dimasukkannya pajak dalam APBN sebagai penerimaan dalam negeri.

2. Fungsi Mengatur (Reguler)
Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan di bidang sosial dan ekonomi. Sebagai contoh, yaitu dikenakannya pajak yang lebih tinggi terhadap minuman keras, dapat ditekan. Demikian pula terhadap barang-barang mewah.

UTANG PAJAK DAN STELSEL PEMUNGUTAN PAJAK

Pengertian Utang Pajak
Menurut Rochmat Soemitro, utang pajak adalah utang yang timbulnya secara khusus karena negara (kreditur) terikat dan tidak dapat memilih secara bebas siapa yang akan dijadikan debiturnya, seperti dalam hokum perdata. Hal ini terjadi karena utang pajak lahir karena undang-undang.

Ajaran-Ajaran Mengenai Timbulnya Utang Pajak
Mengenai cara dan saat lahirnya utang pajak dikenal adanya dua ajaran, yakni ajaran formal dan ajaran material.
Utang pajak menurut ajaran material, timbul dengan sendirinya karena pada saat yang ditentukan oleh undang-undang sekaligus dipenuhi syarat subjek dan syarat objek. “Dengan sendirinya” artinya bahwa untuk timbulnya utang pajak itu tidak diperlukan campur tangan atau perbuatan dari pejabat pajak, asal syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang telah dipenuhi.
Adapun menurut ajaran formal, utang pajak timbul karena undang-undang pada saat-saat dikeluarkan Surat Ketetapan Pajak oleh Direktur Jenderal Pajak. Dalam hal ini lahirnya utang pajak terjadi karena undang-undang sebagai akibat perbuatan manusia, yakni perbuatan dari aparatur pajak untuk mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak. Jadi, selama belum ada Surat Ketetapan Pajak, maka belum ada utang pajak dan tidak akan dilakukan penagihan walaupun syarat subjek dan syarat objek telah dipenuhi bersamaan.

Stelsel Pemungutan Pajak
Cara pemungutan pajak dilakukan berdasarkan tiga jenis stelsel, yaitu:
 Stelsel nyata (riil stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan) yang nyata, sehingga pemungutannya baru dapat dilaksanakan pada akhir tahun pajak, yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya telah dapat diketahui. Kelebihan stelsel ini adalah vpajak yang dikenakan lebih realistis. Kelemahannya adalah pajak baru dapat dikenakan pada akhir periode (setelah penghasilan riil diketahui)
 Stelsel anggapan (fictive stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-undang, sebagai contoh, penghasilan satu tahun dianggap sama dengan tahun sebelumnya sehingga pada awal tahun pajak telah dapat ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan. Kelebihan stelsel ini adalah pajak yang dibayar selama tahun berjalan, tanpa harus menunggu akhir tahun. Kelemahannya adalah pajak yang dibayar tidak berdasarkan pada keadaan yang sesungguhnya.
 Stelsel campuran
Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dengan stelsel anggapan. Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan. Kemudian pada akhir tahun besarnya apajak disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya. Apabila besarnya pajak menurut menurut kenyataan lebih besar dari pada pajak menurut anggapan, maka si Wajib Pajak harus menambah kekurangannya. Demikian pula sebaliknya, apabila lebih kecil maka kelebihannya dapat diminta kembali.

Sistem/Cara Pemungutan Pajak
Sistem pemungutan pajak dapat dibagi menjadi:
o Official assessment system
Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiscus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang.
Ciri-ciri sistem ini adalah:
1. Wewenang untuk menentukan besarnya apjak terutang berada pada fiscus
2. Wajib Pajak bersifat pasif
3. Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiscus

o Self assessment system
Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar.
Ciri-ciri dari system ini adalah:
1. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada wajib pajak sendiri.
2. Wajib pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang
3. Fiscus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.

o With holding system
Sistem ini merupakan system pemungutan pajak memberi memberi wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.

Dasar Hapusnya Utang Pajak
Di dalam Hukum Perdata, mengenai hapusnya perikatan diatur di dalam Pasal 1381 KUHPerdata.Adapun penyebab hapusnya utang pajak tersebut adalah:
1. Pembayaran.
2. Penawaran pembayaran yang diikuti dengan penitipan
3. Pembaharuan utang
4. Kompensasi utang
5. Percampuran utang
6. Pembebasan utang
7. Musnahnya barang yang terutang
8. Pembatalan, atau batal demi hukum
9. Dipenuhi syarat batal
10. Daluarsa.


Selengkapnya...

Cara dan Aturan Pajak di Indonesia

Pajak adalah merupakan kontribusi (iuran) wajib kepada negara yang terhutang oleh orang pribadi atau suatu badan yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum yang berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan tugas pemerintahan.
Namun sebagai suatu

bentuk kontribusi rakyat/masyarakat kepada negaranya, dalam pelaksanaannya justru masih banyak terdapat menimbulkan pertanyaan di benak masyarakat.. Tak bisa kita pungkiri bahwa peraturan perundang-undangan perpajakan yang merupakan landasan pemungutan pajak yang selama ini berlaku, sebagian besar masih merupakan warisan kolonial, yang pada saat itu tujuannya semata-mata hanyalah untuk menambah kekayaan pemerintah penjajah guna memperkuat kekuasaannya di indonesia. Oleh karenanya pemungutan pajak pada saat itu dirasakan rakyat sebagai beban yang sangat berat. Hal itu dikarenakan dalam hal aturan dan kebijakan-kebijakannya dibuat diluar rasa keadilan, dan tanpa menghiraukan kemampuan dan kesanggupan rakyat.
Untuk itulah, dalam makalah ini saya ingin menjelaskan tentang sistem, mekanisme, dan tata cara pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan yang sederhana. Adapun dasar hukum yang digunakan dalam penjelasannya nanti adalah Undang-Undang No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, sebagaimana kemudian telah diubah dengan Undang-Undang No.16 Tahun 2000. Namun dengan berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007, dengan tetap menganut sistem self assessment, yang berkaitan dengan peningkatan keseimbangan hak dan kewajiban bagi masyarakat Wajib Pajak sehingga mereka sebagai si Wajib Pajak dapat melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya dengan lebih baik.

A. Pengertian-pengertian Dalam Ketentuan Umum
Dengan mengacu pada Pasal 1 Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pengertian yang dimaksud antara lain meliputi:
1. Wajib Pajak (WP) adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungutan pajak atau pemotongan pajak tertentu.
2. Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi politik, atau organisasi sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap, dan bentuk badan lainnya.
3. Masa Pajak adalah jangka waktu yang lamanya sama dengan satu bulan takwim atau jangka waktu lainnya yang ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan paling lama 3 (tiga) bulan takwim.
4. Tahun Pajak adalah jangka waktu satu tahun takwim kecuali jika Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun takwim.
5. Bagian Tahun Pajak adalah bagian dari jangka waktu satu tahun pajak.
6. Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam masa pajak, dalam tahun pajak, atau dalam bagian tahun pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
7. Penanggung pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

B. Mekanisme
 Kewajiban mendaftarkan diri
Sesuai dengan Pasal 2 Undang-undang Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, maka Setiap Wajib Pajak wajib mendaftarkan dirinya pada Kantor Direktorat Jenderal pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak .
Yang dimaksud dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) adalah nomor yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak kepada Wajib Pajak sebagai sarana administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
Oleh karena itu, kepada setiap Wajib Pajak hanya diberikan satu NPWP. Fungsi dari NPWP tersebut adalah:
a. Untuk mengetahui identitas Wajib pajak;
b. Untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan dalam pengawasan administrasi perpajakan;
c. Untuk keperluan yang berhubungan dengan dokumen perpajakan;
d. Untuk memenuhi kewajiban perpajakan, misalnya dalam pengisian SSP;
e. Untuk mendapatkan pelayanan dari instansi-instansi tertentu yang mewajibkan pencantuman NPWP dalam dokumen yang diajukan. Misal : Dokumen Impor (PPUD, PIUD). Setiap WP hanya diberikan satu NPWP.
Selain fungsi-fungsi tersebut, NPWP juga digunakan untuk mengetahui identitas WP yang sebenarnya, juga berguna untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan dalam pengawasan administrasi perpajakan. Setiap WP dalam hal yang berhubungan dengan dokumen perpajakan diharuskan mencantumkan NPWP yang dimilikinya. Adapun bagi WP yang memiliki lebih dari satu tempat tinggal/tempat kedudukan maka harus melapor/memberitahukan hal tersebut kepada Direktorat Jenderal Pajak untuk kemudian ditetapkan di daerah mana si WP tersebut harus mendaftarkan diri.
Adapun tempat pendaftaran Wajib Pajak/pelaporan Pengusaha Tertentu:
a. Seluruh WP BUMN dan WP BUMD di wilayah DKI Jakarta: di KPP BUMN Jakarta;
b. WP PMA tidak Go Public: di KPP PMA, kecuali yang telah terdaftar di KPP lama dan WP PMA di Kawasan Berikat dengan permohonan diberikan kemudahan mendaftar di KPP setempat;
c. WP Badan dan Orang Asing: di KPP Badora;
d. WP Go Public: di KPP Perusahaan Masuk Bursa (Go Public), kecuali WP BUMN/BUMD serta WP PMA yang berkedudukan di kawasan berikat;
e. WP BUMD di luar DKI Jakarta: di KPP setempat;
f. Untuk WP BUMN/BUMD, PMA, Badora, Go Public di luar DKI Jakarta, khusus PPh Pemotongan/Pemungutan dan PPN/PPnBM: di KPP tempat cabang atau kegiatan usaha.

Dalam usaha memperoleh NPWP, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi. Di antara persyaratan-persyaratan tersebut adalah:
a. Untuk WP Orang Pribadi Non-Usahawan:
• Fotocopy KTP/Kartu Keluarga/SIM/Paspor.
b. Untuk WP Orang Pribadi Usahawan:
• Fotocopy KTP/Kartu Keluarga/SIM/Paspor;
• Fotocopy Surat Izin Usaha atau Surat Keterangan Tempat Usaha dari instansi yang berwenang.
c. Untuk WP Badan:
• Fotocopy akte pendirian;
• Fotocopy KTP salah seorang pengurus;
• Fotocopy Surat Izin Usaha atau Surat Keterangan Tempat Usaha dari instansi yang berwenang.
d. Untuk Bendaharawan sebagai Pemungut/Pemotong:
• Fotocopy surat penunjukan sebagai bendaharawan;
• Fotocopy tanda bukti diri KTP/Kartu Keluarga/SIM/Paspor.
e. Apabila wajib pajak pemohon berstatus cabang, maka harus melampirkan fotocopy kartu NPWP atau Bukti Pendaftaran wajib pajak Kantor Pusatnya. Apabila permohonan ditandatangani oleh orang lain, perlu dilengkapi surat kuasa.

Dan tata cara mendaftarkan diri dan melaporkan usaha bagi wajib pajak adalah dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Mengisi formulir pendaftaran dan melampirkan kelengkapannya;
b. Menyampaikan secara langsung atau melalui pos ke Kantor Pelayanan Pajak setempat.

Apabila kemudian terdapat adanya perubahan data, maka si wajib pajak wajib memberitahukannya untuk kemudian dilakukan perubahan/pergantian. Adapun hal-hal yang berkenaan dengan perubahan data tersebut adalah:
a. Perbaikan data karena kesalahan data hasil komputer;
b. Perubahan nama wajib pajak karena penggantian nama, disyaratkan adanya keterangan dari instansi yang berwenang;
c. Perubahan alamat wajib pajak karena perpindahan tempat tinggal;
d. Perubahan NPWP karena adanya kesalahan nomor (misalnya NPWP cabang tidak sama dengan NPWP Pusat);
e. Perubahan status usaha wajib pajak dilampiri pernyataan tertulis dari WP atau fotocopy akte perubahan;
f. Perubahan jenis usaha karena ada perubahan kegiatan usaha wajib pajak;
g. Perubahan bentuk Badan;
h. Perubahan jenis pajak karena sesuatu hal yang mengakibatkan kewajiban jenis pajaknya berubah;
i. Penghapusan NPWP dan/atau pencabutan NPPKP karena dipenuhinya persyaratan yang ditentukan;

Setelah melalukan pemberitahuan tentang adanya perubahan data, kemudian ada tata cara pembetulan data wajib pajak. Tata cara tersebut adalah:
a. Mengisi formulir perubahan/mutasi data wajib pajak yang diambil secara langsung atau meminta melalui pos dari KPP/KP4 dan menyampaikan formulir tersebut secara langsung atau melalui pos ke KPP/KP4 yang bersangkutan, atau
b. Melalui formulir SPT Tahunan.

Sebagai sesuatu yang bisa dilahirkan (diadakan), maka Nilai Pokok Wajib Pajak pun suatu saat nanti bisa dihilangkan (dihapuskan). Penghilangan (penghapusan) NPWP tersebut dilakukan dalam hal-hal yang berhubungan dengan:
a. Wajib Pajak orang pribadi meninggal dan tidak meninggalkan warisan;
b. Wanita kawin tidak dengan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan;
c. Warisan yang belum terbagi dalam kedudukan sebagai Subjek Pajak sudah selesai dibagi;
d. Wajib Pajak badan yang telah dibubarkan secara resmi berdasarka ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
e. Bentuk usaha tetap yang karena sesautu hal kehilangan statusnya sebagai bentuk usaha tetap;
f. Wajib Pajak orang pribadi lainnya selain yang dimaksud dalam huruf a dan huruf b yang tidak memenuhi syarat lagi sebagai Wajib Pajak.

Terhadap Wajib Pajak yang tidak mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP akan dikenakan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 39 Undang-undang No.6 Tahun 1983, yaitu: “Barang siapa yang dengan sengaja tidak mendaftarkan diri atau menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NPWP sehingga dapat menimbulkan kerugian pada negara, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya enam tahun dan/atau denda setinggi-tingginya sebesar empat kali jumlah pajak yang terhutang atau yang kurang atau yang tidak dibayar”.

 Kewajiban Menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT)
Setiap Wajib Pajak wajib mengisi SPT, menandatangani dan menyampaikan/mengembalikan ke KPP di mana Wajib Pajak bersangkutan berdomisili.
Menurut Pasal 1, angka 10 Undang-undang No.16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyebutkan bahwa Surat Pemberitahuan (SPT) adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan atau pembayaran pajak, Objek Pajak dan atau bukan Objek Pajak dan atau harta dan kewajiban, menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan .
Adapun fungsi SPT dapat dilihat dari Wajib Pajak, Pengusaha Kena Pajak atau Pemotong/Pemungut Pajak sebagai berikut:
1. Fungsi SPT bagi Wajib Pajak Penghasilan
a. Sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggung jawabkan perhitungan pertambahan jumlah pajak yang sebenarnya terutang;
b. Untuk melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak yag telah dilaksanakan sendiri dan atau melalui pemotongan pajak atau pemungutan pajak lain dalam satu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak.
c. Untuk melaporkan pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan atau pemungutan pajak orang pribadi atau badan lain dalam satu Masa Pajak, yang ditentukan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

2. Fungsi SPT bagi Pengusaha Kena Pajak
a. Sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang sebenarnya terutang.
b. Untuk melaporkan pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran
c. Untuk melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan oleh Pengusaha Kena Pajak dan atau melaluipihak lain dalam satu Masa Pajak, yang ditentukan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku

3. Fungsi SPT bagi Pemotong atau pemungut Pajak
Sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau dipungut dan disetor

Setelah kita mengetahui fungsi-fungsi dari SPT, maka selanjutnya kita akan membahas mengenai prosedur penyelesaiannya. Mengenai hal ini ada beberapa prosedur yang harus dilakukan yaitu:
a. Wajib Pajak harus mengambil sendiri blangko SPT pada Kantor Pelayanan Pajak setempat (dengan menunjukkan NPWP)
b. SPT harus diisi dengan benar, jelas dan lengkap sesuai dengan petunjuk yang diberikan. Pengisian formulir SPT yang tidak benar akan mengakibatkan pajak yang terutang kurang dibayar, akan dikenakan sanksi perpajakan
c. SPT diserahkan kembali ke Kantor Pelayanan Pajak yang bersangkutan dalam batas waktu yang ditentukan , dan akan diberikan tanda terima tertanggal. Apabila SPT dikirim melalui Kantor Pos harus dilakukan secara tercatat, dan tanda bukti serta tanggal pengiriman dianggap sebagai tanda bukti dan tanggal penerimaan
d. Bukti-bukti yang harus dilampirkan pada SPT antara lain:
 Untuk Wajib Pajak yang mengadakan pembukuan; Laporan Keuangan berupa neraca dan laporan rugi laba serta keterangan-keterangan lain yang diperlukan untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak
 Untuk SPT Masa PPN sekurang-kurangnya memuat jumlah Dasar Pengenaan Pajak, jumlah Pajak Keluaran, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, dan jumlah kekurangan atau kelebihan pajak.
 Wajib Pajak yang menggunakan norma perhitungan; perhitungan jumlah peredaran yang terjadi dalam tahun pajak yang bersangkutan.

Apabila kemudian dalam pengisian SPT ternyata terdapat kesalahan, maka Wajib Pajak dapat melakukan pembetulan atas kemauan sendiri dengan menyampaikan pernyataan tertulis dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sesudah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, dengan syarat:
a. Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan. Pembetulan SPT tersebut berakibat utang pajak menjadi lebih besar, maka dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian SPT berakhir sampai dengan tanggal pembayaran karena pembetulan SPT.
b. Telah dilakukan tindakan pemeriksaan, tetapi belum dilakukan tindakan penyidikan. Selanjutnya, Wajib Pajak dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran perbauatan dengan disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar dua kali jumlah pajak yang kurang dibayar.

Sekalipun jangka waktu pembetulan SPT telah berakhir, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan surat ketetapan pajak, Wajib Pajak dengan kesadaran sendiri dapat mengungkapkannya dalam suatu laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian SPT atas pengungkapan Wajib Pajak berakibat:
a. Pajak-pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar; atau
b. Rugi berdasarkan ketentuan perpajakan menjadi lebih kecil; atau
c. Jumlah harta menjadi lebih besar; atau
d. Jumlah modal menjadi lebih besar.

Pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT tersebut, beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak yang kurang dibayar, harus dilunasi sebelum laporan disampaikan.
Terdapat dua jenis Surat Pemberitahuan (SPT), yaitu Surat Pemberitahuan Masa dan Surat Pemberitahuan Tahunan. Surat Pemberitahuan Masa adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan atau pembayaran pajak yang terutang dalam suatu Masa Pajak atau pada suatu saat. Adapun Surat Pemberitahuan Tahunan adalah Surat Pemberitahuan yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan pembayaran pajak yang terutang dalam suatu Tahun Pajak.
Dalam kaitannya dengan pengisian dan pengembalian SPT pajak, terdapat Wajib Pajak tertentu yang tidak diwajibkan untuk mengisi dan mengembalikan SPT itu. Pada prinsipnya setiap Wajib Pajak atas Pajak Penghasilan diwajibkan menyampaikan Surat Pemberitahuan. Dengan pertimbangan efisiensi atau pertimbangan lainnya, Menteri Keuangan dapat menetapkan Wajib Pajak untuk Pajak Penghasilan yang dikecualikan dari kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan, misalnya Wajib Pajak orang pribadi yng menerima atau memperoleh penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak namun karena kepentingan tertentu diwajibkan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak . Demikian pula untuk Wajib Pajak Luar Negeri juga tidak diwajibkan untuk mengisi dan mengembalikan SPT.
Sebagai salah satu bentuk diterapkannya self assessment system, di mana Wajib Pajak tidak dilayani dan bersikap pasif, melainkan harus bersikap aktif, dalam hal ini bahkan untuk mengambil blanko SPT di tempat yang telah ditetapkan. Blanko SPT yang telah diambil oleh Wajib Pajak itu harus diisi dengan lengkap, jelas dan benar. Lengkap dalam arti semua data dan keterangan yang diminta, dipenuhi sesuai dengan permintaan di dalam kolom yang disediakan. Jelas berarti bahwa informasi yang dimasukkan dalam SPT tersebut harus ditulis dengan jelas dan mudah dipahami. Dan benar berarti sesuai dengan yang seharusnya.
Kebenaran isi SPT ini sangat penting karena dengan berdasarkan keterangan itu pula utang pajak dari Wajib Pajak yang bersangkutan ditetapkan. Oleh karena itu terhadap kesalahan pengisian SPT yang menimbulkan kerugian negara di dalam Undang-undang dianggap sebuah tindak pidana. Apabila keterangan yang dimasukkan dalam SPT itu tidak benar atau tidak lengkap, yang disebabkan kealpaan dari Wajib Pajak , maka kepada Wajib Pajak yang bersangkutan dapat dikenakan sanksi pidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling tinggi dua kali jumlah pajak yang terutang yang tidak atau kurang dibayar. Sementara jika ketidakbenaran itu karena kesengajaan Wajib Pajak , maka ancaman hukumannya lebih berat, yakni pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali pajak yang terutang yang tidak atau kurang dibayar .
Setelah SPT itu diisi, Wajib Pajak wajib menandatangani SPT tersebut untuk kemudian menyampaikan kembali ke Kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar. Penandatangan tersebut dilakukan oleh pengurus atau direksi yang mewakili badan dimaksud. Dalam hal SPT ditandatangani oleh orang lain selain Wajib Pajak dan Penanggung Pajak, maka harus disertai dengan surat kuasa. Penyampaian kembali SPT yang sudah diisi tersebut diberikan batas waktu tertentu. Sesuai dengan Pasal 3 ayat 3 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, batas waktu penyampaian SPT diatur:
 Untuk SPT Masa, paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah akhir masa pajak;
 Untuk SPT Tahunan, paling lambat 3 (tiga) bulan setelah akhir tahun pajak.

Namun terkadang meskipun batas waktu penyampaian SPT telah ditetapkan, tetapi Wajib Pajak (khusus SPT Tahunan) dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian SPT Tahunan dengan mengajukan surat permohonan perpanjangan batas waktu penyampaian SPT Tahunan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan disertai:
1. Alasan-alasan penundaan penyampaian SPT Tahunan
2. Surat pernyataan perhitungan sementara pajak yang terutang dalam satu tahun pajak
3. Bukti pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang terutang menurut perhitungan sementara tersebut.
Dan apabila permohonan Wajib Pajak tersebut disetujui untuk paling lama 6 (enam) bulan dan ternyata penghitungan sementara pajak selama 1 (satu) tahun yang terhutang kurang dari jumlah pajak yang sebenarnya terutang, atas kekurangan pembayaran tersebut dikenakan bunga sebesar 2% sebulan yang dihitung dari batas waktu selambat-lambatnya kewajiban menyampaikan SPT Tahunan sampai dengan tanggal pembayaran.
Apabila Surat Pemberitahuan tdak disampaikan sesuai dengan batas waktu sebagaimana yang telah ditentukan, atau batas waktu perpanjangan penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan, maka kepada Wajib Pajak tersebut diterbitkan surat teguran. Selanjutnya Wajib Pajak tersebut juga dikenakan sanksi administrasi dan atau sanksi pidana.
1. Wajib Pajak yang terlambat menyampaikan SPT dikenakan sanksi administrasi berupa denda untuk SPT Masa sebesar Rp 50.000,00 dan untuk SPT Tahunan sebesar Rp 100.000,00.
2. Pasal 38 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyatakan bahwa, apabila Wajib Pajak tidak menyampaikan SPT, atau menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar karena kealpaan Wajib Pajak sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda setinggi-tingginya 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
3. Pasal 39 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyatakan apabila dengan sengaja Wajib Pajak tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT dan atau keterangan yang isinya tidak benar, atau tidak lengkap sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, diancam dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda setinggi-tingginya 4 (empat) kali jumlah pajak yang terutang yang tidak atau kurang dibayar.

 Surat Ketetapan Pajak
Surat Ketetapan Pajak (SKP) merupakan suatu keputusan dari administrasi di mana ditetapkan hubungan hukum antara pihak administrasi dan wajib pajak.
Surat Ketetapan Pajak menurut Undang-undang No. 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan adalah surat ketetapan yang meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar

a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pajak terutang, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, jumlah yang masih harus dibayar.
Direktorat Jenderal Pajak dalam jangka waktu sepuluh tahun sesudah saat terutangnya, atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak dapat menerbitkan SKPKB dalam hal:
 berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang terutang kurang atau tidak dibayar;
 SPT tidak disampaikan dalam jangka waktu ditetapkan setelah ditegur secara tertulis tidak juga disampaikan sebagaimana waktu yang ditentukan dalam surat teguran;
 berdasarkan hasil pemeriksaan mengenai Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Perdagangan Barang Mewah, ternyata tidak seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenakan tarif 0% (nol persen);
 tidak dipenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dan Pasal 29 Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Penetapan sanksi administrasi atas pengeluaran SKPKB
1. Dikeluarkan SKPKB karena alasan pada butir 1 di atas, maka jumlah kekurangan pajak terutangditambah bungan 2% sebulan dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Tahunan Pajak sampai dengan diterbitkannya SKPKB;
2. dikeluarkannya SKPKB karena alasan pada butir 2, 3, dan 4, maka dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar:
 50% dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang bayar dalam satu tahun pajak;
 100% dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dipotong, tidak atau kurang dipungut, tidak atau kurang disetorkan, dan dipotong atau dipungut tetapi tidak atau kurang disetorkan;
 100% dari Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang tidak atau kurang bayar.

b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)
Dalam Undang-undang Nomor 28 tahun 2007 pasal 1 dijelaskan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.

Seperti halnya SKPKB, maka dapat dikeluarkan apabila:
1. berdasarkan data baru atau data yang semula belum terungkap, menyebabkan pertambahan pajak yang terutang dalam surat ketetapan pajak sebelumnya,
2. ditemukan lagi data yang semula belum terungkap pada saat penerbitan SKPKBT;
3. telah pernah diterbitkaan ketetapan pajak.

Sanksi yang diterapkan atas diterbitkannya SKPKBT yaitu jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPKBT, ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan 100% dari jumlah kekurangan pajak. Apabila SKPKBT diterbitkan berdasarkan keterangan tertulis dari Wajib Pajak atas kehendaknya sendiri, dengan syarat Direktorat Jenderal Pajak belum mulai melakukan tindakan pemeriksaan sanksi administrasi berupa kenaikan tidak dikenakan.

c. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.

Pokok-pokok dalam penerbitan SKPLB:
1. Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atas nama Direktorat Jenderal Pajak menerbitkan SKPLB dalam jangka waktu selambat-lambatnya 12 bulan sejak permohonan diterima.
2. Apabila SKPLB tidak diterbitkan dalam jangka waktu selambat-lambatnya 12 bulan, maka permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dianggap dikabulkan.
3. dalam waktu sebulan sejak Surat Pemberitahuan diterima, Direktorat Jenderal Pajak menerbitkan SKPLB sesuai dengan permohonanWajib Pajak . SKPLB ii dikirim kepada Wajib Pajak dengan tembusan kepada KPP yang bersangkutan.
4. KPP menerbitkan Surat Perintah Membayar Kembali Pajak (SPMKP) dalam waktu setelah menerbitkan SKPLB.
5. Apabila Wajib Pajak mempunyai utang pajak lainnya, kelebihan pembayaran itu langsung diperhitungkan lebih dahulu. Di sampng itu, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan agar kelebihan pembayaran tersebut diperhitungkan (dikompensasi) dengan utang pajak yang akan datang.
6. apabila pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan setelah jangka waktu satu bulan sejak SKPP diterbitkan, Pemerintah memberikan bunga sebesar 2% sebulan atas kelambatan pembayaran kelebihan pajak tersebut.

d. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)
Surat Ketetapan Pajak Nihil adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak
SKPN diterbitkan apabila berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak, ternyata jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang terutang, atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak, tidak ada pembayaran pajak.

e. Surat Tagihan Pajak (STP)
Surat Tagihan Pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda.
Direktorat Jenderal Pajak dapat menerbitkan STP apabila:
1. Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar.
2. Dari hasil penelitian Surat Pemberitahuan terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan atau salah hitung
3. Wajib Pajak dikenakan sanksi admininstrasi berupa denda atau bunga.
4. Pengusaha yang dikenai pajak berdasarkan Undang-undang pertambahan nilai dan perubahannya, tetapi tidak melapor kegiatan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
5. Pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tetapi membuat faktur pajak
6. Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tetapi tidak membuat Faktur Pajak atau membuat Faktur Pajak tetapi tidak tepat waktu, atau mengisi selengkapnya Faktur Pajak.
Dengan memperhatikan masalah di atas, maka sanksi administrasi yang diterapkan yaitu:
1. Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam butir 1 dan 2 dalam STP ditambah sanksi administrasi berupa bunga 2% sebulan untuk selama-lamanya 24 bulan, terhitung sejak saat terutang pajak Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya STP.
2. Terhadap pengusaha atau Pengusaha Kena Pajak butir 4, 5, dan 6 dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% dari Dasar Pengenaan Pajak.

Adapun fungsi dari STP adalah:
a. Sebagai koreksi atas jumlah pajak yang terutang menurut SPT Wajib Pajak
b. Sebagai sarana mengenakan sanksi administrasi berupa bunga atau denda
c. Sebagai alat untuk mengaih pajak




 Pembukuan
Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan, dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi pada setiap Thaun Pajak berakhir.
Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia, wajib menyelenggarakan pembukuan.
Pembukuan atau pencatatan harus:
a. Diselenggarakan dengan i’tikad baik dan mencerminkan keadaan usaha yang sebenarnya
b. Diselenggarakan di Indonesia
c. Menggunakan huruf latin dan angka arab
d. Menggunakan satuan mata uang rupiah dan mata uang asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan
e. Dalam Bahasa Indonesia atau bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan
f. Diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan accrual basis atau cash basis. Perubahan atas metode pembukuan atau pencatatan harus mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak.

Pembukuan/pencatatan serta dokumen-dokumen lain harus disimpan selama 10 tahun. Tempat penyimpanan dokumen tersebut untuk Wajib Pajak orang pribadi, di tempat kegiatan atau tempat tinggal dan untuk Wajib Pajak badan, di tempat kedudukan.
Sanksi bagi yang tidak menyelenggarakan pembukuan adalah:
1. Tidak mengadakan pembukuan/pencatatan, pajak yang terutang ditetapkan dengan SKP ditambah sanksi administrasi berupa kenaikan 100%, dan khusus untuk PPh Pasal 29 ditambah kenaikan 50%.
2. Dengan sengaja:
a. Memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar
b. Tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan
c. Tidak memperlihatkan atau meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lainnya
Dipidana dengan penjara selama-lamanya 6 (enam) tahun dan denda setinggi-tingginya 4 (empat) kali jumlah pajak yang kurang atau tidak dibayar.

 Pemeriksaan Pajak
Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, mengolah data dan atau keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Tujuan Pemeriksaan Pajak adalah:
1. Menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan, yang dapat dilakukan dalam hal:
a. SPT menunjukkan kelebihan pembayaran pajak dan atau rugi;
b. SPT tidak disampaikan atau disampaikan tidak tepat waktu yang telah ditentukan;
c. SPT pemberitahuan memenuhi kiteria yang telah ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak;
d. Terdapat indikasi kewajiban perpajakan selain kewajiban tersebut pada butir b tidak dipenuhi.
2. Tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan pearturan perundang-undangan perpajakan, yang dapat dilakukan dalam hal:
a. Pemberian NPWP atau pencabutan NPWP;
b. Pemberian pengukuhan dan pencabutan pengukuhan;
c. Penentuan besarnya jumlah angsuran pajak dalam suatu Masa Pajak bagi Wajib Pajak baru;
d. Wajib Pajak mengajukan keberatan dan banding;
e. Pengumpulan bahan guna penyusunan Norma Penghitungan;
f. Pencocokan data dan atau alat keterangan;
g. Penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah tertentu;
h. Penentuan satu atau lebih tempat terutang PPN dan atau PPh Pasal 21;
i. Pelaksanaan ketentuan perundang-undangan perpajakan untuk tujuan selain huruf a sampai dengan huruf h. Sebagai contoh pengaduan dari pihak ketiga.

Hak Wajib Pajak Apabila Dilakukan Pemeriksaan:
1. Meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa
2. Meminta tindasan Surat Perintah Pemeriksaan Pajak
3. Menolak untuk diperiksa apabila Pemeriksa tidak dapat menunjukan Tanda Pengenal Pemeriksa dan Surat Perintah Pemeriksaan
4. Meminta penjelasan tentang maksud dan tujuan pemeriksaan
5. Meminta tanda bukti peminjaman buku-buku, catatancatatan, serta dokumen-dokumen yang dipinjam oleh Pemeriksa Pajak
6. Meminta rincian berkenaan dengan hal-hal yang berbeda antara hasil pemeriksaan dengan Surat Pemberitahuan (SPT) mengenai koreksi-koreksi yang dilakukan oleh Pemeriksa Pajak terhadap SPT yang telah disampaikan
7. Mengajukan pengaduan apabila kerahasiaan usaha dibocorkan kepada pihak lain yang tidak berhak Memperoleh lembar Asli Berita Acara Penyegelan apabila Pemeriksa Pajak melakukan penyegelan atas tempat atau ruangan tertentu.

Kewajiban Wajib Pajak Apabila Dilakukan Pemeriksaan
1. Memperlihatkan dan atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya dan dokumen lainnya yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas WAJIB PAJAK atau objek yang terutang pajak.
2. Memberi kesempatan kepada pemeriksa untuk memasuki tempat atau ruangan yang dipandang perlu oleh pemeriksa dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan.
3. Memberi keterangan yang diperlukan.

 Keberatan
Keberatan merupakan suatu cara yang dilakukan oleh Wajib Pajak kepada Direktorat Jenderal Pajak apabila merasa kurang/tidak puas atas suatu ketetapan pajak yang dikenakan kepadanya atau atas pemotongan/pemungutan oleh pihak ketiga.
Tata cara Penyelesaian Keberatan
a. Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas:
1) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB);
2) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT);
3) Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB);
4) Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN);
5) Pemotongan atau Pemungutan oleh pihak ketiga.
b. Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak terutang atau jumlah pajak yang dipotong atau dipungut atau jumlah rugi menurut perhitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan-alasan yang jelas.
c. Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat tanggal pemotongan atau pemungutan, kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
d. Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada poin b dan c tidak dianggap sebagai Surat Keberatan, sehingga tidak dipertimbangkan
e. Tanda penerimaan Surat Keberatan yang diberikan oleh pejabat Direktorat Jenderal Pajak atau tanda pengiriman Surat Keberatan melalui pos tercatat menjadi bukti penerimaan Surat Keberatan.
f. Direktorat Jenderal Pajak dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima harus memberi keputusan.
Keputusan Direktorat Jenderal Pajak dapat berupa:
 Mengabulkan seluruhnya
 Mengabulkan sebagiannya
 Menolak
 Menambah besarnya jumlah pajak yang terutang
g. Apabila dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan keberatan yang diajukan dianggap dikabulkan
h. Pengajuan Keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak
i. Apabila pengajuan keberatan dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% sebulan (maksimal 24 bulan) dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya Keputusan keberatan.


 Banding
Tata cara Penyelesaian Banding
a. Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada Pengadilan Pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak
b. Banding diajukan dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal keberatan dikeluarkan, dengan cara:
 Tertulis dalam bahasa Indonesia
 Mengemukakan alasan-alasan yang jelas dan bukti yang diperlukan
 Melampirkan salinan Surat Keputusan Keberatan
c. Putusan badan peradilan pajak merupakan putusan akhir dan bersifat tetap
d. Permohonan banding tidak menunda kewajiban pembayaran pajak yang bersangkutan
e. Apabila pengajuan banding diterima sebagian atau seluruhnya, maka kelebihan pembayaran dikembalikan dengan ditambah bunga sebesar 2% sebulan (maksimal 24 bulan) dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya Putusan Banding.

 Restitusi
Untuk dapat memperoleh kembali jumlah kelebihan pembayaran pajak dalam bentuk pengembalian pajak, atau yang sering dikenal sebagai restitusi pajak, maka Wajib Pajak yang bersangkutan harus mengajukan permohonan. Setelah melakukan pemeriksaan terhadap permohonan tersebut maka kalau memang ada kelebihan pembayaran pada suatu jenis pajak tertentu, maka akan diteliti terlebih dahulu apakah wajib pajak yang bersangkutan mempunyai utang pajak yang lainnya. Jika mempunyai kewajiban, maka hal itu harus diperhitungkan terlebih dahulu.


Tata cara pengembalian kelebihan pembayaran pajak, yaitu:
 Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan restitusi ke Direktur Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak (KPP) setempat.
 Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) dalam hal:
 Untuk PPh, jika jumlah Kredit Pajak lebih besar dari jumlah pajak yang terutang atau telah dilakukan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang;
 Untuk PPN, jika jumlah Kredit Pajak lebih besar dari jumlah pajak yang terutang atau telah dilakukan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang. Apabila terdapat pajak terutang yang dipungut oleh Pemungut PPN , maka jumlah pajak yang terutang adalah jumlah pajak Keluaran setelah dikurangi Pajak yang dipungut oleh Pemungut PPN tersebut;
 Untuk PPnBM, jika Pajak yang dibayar lebih besar dari jumlah pajak yang terutang, atau telah dilakukan pembayaran pajak yang tidak seharusnya terutang.
 SKPLB diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak paling lambat 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan diterima secara lengkap, kecuali untuk kegiatan tertentu ditetapkan lain dengan keputusan Direktur Jenderal Pajak.
 Apabila dalam jangka waktu 12 bulan sejak permohonan restitusi, Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan, maka permohonan dianggap dikabulkan, dan SKPLB diterbitkan dalam waktu paling lambat 1 (satu) bulan setelah jangka waktu berakhir.




Selengkapnya...

Indonesia Dan Pengangguran

Pengertian Pengangguran
Pengangguran adalah istilah untuk orang yang tidak bekerja sama sekali, sedang mencari kerja, bekerja kurang dari dua hari selama seminggu, atau seseorang yang sedang berusaha mendapatkan pekerjaan. Atau pengertian lain dari pengagguran yaitu orang yang masuk dalam angkatan kerja (15 sampai 64 tahun) yang sedang mencari pekerjaan dan belum mendapatkannya. Orang yang tidak sedang mencari kerja contohnya seperti ibu rumah tangga, siswa sekolah SMP, SMA, mahasiswa perguruan tinggi, dan lain sebagainya yang karena sesuatu hal tidak/belum membutuhkan pekerjaan.



Jenis-jenis Pengangguran
1. Pengangguran Friksional/Frictional Unemployment
Pengangguran friksional adalah pengangguran yang sifatnya sementara yang disebabkan adanya kendala waktu, informasi dan kondisi geografis antara pelamar kerja dengan pembuka lamaran pekerjaan.

2. Pengangguran Struktural / Structural Unemployment
Pengangguran struktural adalah keadaan di mana penganggur yang mencari lapangan pekerjaan tidak mampu memenuhi persyaratan yang ditentukan pembuka lapangan kerja. Semakin maju suatu perekonomian suatu daerah akan meningkatkan kebutuhan akan sumber daya manusia yang memiliki kualitas yang lebih baik dari sebelumnya.

3. Pengangguran Musiman / Seasonal Unemployment
Pengangguran musiman adalah keadaan menganggur karena adanya fluktuasi kegiaan ekonomi jangka pendek yang menyebabkan seseorang harus nganggur. Contohnya seperti petani yang menanti musim tanam, tukan jualan duren yang menanti musim durian.

4. Pengangguran Siklikal
Pengangguran siklikal adalah pengangguran yang menganggur akibat imbas naik turun siklus ekonomi sehingga permintaan tenaga kerja lebih rendah daripada penawaran kerja.

5. Pengangguran Voluntary/Voluntary Unemployment
Pengangguran jenis ini adalah pengangguran yang terjadi karena orang tersebut dapat bekerja tetapi dia dengan sukarela tidak bekerja karena memperoleh penghasilan dari harta kekayaannya.

6. Pengangguran Deflasioner
Pengangguran deflasioner adalah pengangguran yang diakibatkan karena pencari kerja ingin memperoleh pekerjaan yang lebih baik daripada lowongan pekerjaan yang ada.

7. Pengangguran Tekhnologi/ Technology Unemplopyment
Pengangguran tekhnologi adalah pengangguran yang disebabkan oleh kemajuan tekhnologi (penggantian tenaga kerja manusia dengan mesin)
Berdasarkan waktu kerjanya, pengangguran dikelompokkan atas 3 jenis, yaitu:
 Pengangguran Terbuka
Pengangguran Terbuka merupakan bagian dari angkatan kerja yang tidak bekerja atau sedang mencari pekerjaan (baik bagi mereka yang belum pernah bekerja sama sekali maupun yang sudah penah berkerja), atau sedang mempersiapkan suatu usaha, mereka yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin untuk mendapatkan pekerjaan dan mereka yang sudah memiliki pekerjaan tetapi belum mulai bekerja.
Rumus untuk menghitung besarnya jumlah pengangguran terbuka ini adalah:
Tingkat Penganguran : ∑ orang yang mencari pekerjaan x 100%
∑ angkatan kerja

 Setengah Pengangguran
Setengah Pengangguran adalah bagian dari angkatan kerja yang bekerja di bawah jam kerja normal (kurang dari 35 jam seminggu). Setengah pengangguran dibagi menjadi dua kelompok :
a. Setengah Penganggur Terpaksa, yaitu mereka yang bekerja dibawah jam kerja normal dan masih mencari pekerjaan atau masih bersedia menerima pekerjaan lain.
b. Setengah Penganggur Sukarela, yaitu mereka yang bekerja di bawah jam kerja normal tetapi tidak mencari pekerjaan atau tidak bersedia menerima pekerjaan lain, misalnya tenaga ahli yang gajinya sangat besar.
Adapun rumus untuk menghitung besarnya jumlah penduduk yang setengah menganggur adalah:



 Pengagguran Terselubung
Yaitu tenaga kerja yang tidak bekerja secara optimum karena tidak memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan bakat dan kemampuannya.

Penyebab Pengangguran
Di antara sebab-sebab terjadinya pengangguran:
 Angkatan kerja yang terus meningkat jumlahnya dan tidak seimbang dengan pertumbuhan kesempatan kerja.
 Angkatan kerja yang sedang mencari kerja tidak dapat memenuhi persyaratan-persyaratan yang diminta oleh dunia kerja
 Pencari kerja tidak memiliki keahlian (keterampilan) yang dibutuhkan oleh lowongan pekerjaan.
 Tidak adanya kecocokan upah
 Tidak memiliki kemauan kewirausahaan
 Di antara yang paling sentral yang banyak menyebabkan pengangguran adalah masih rendahnya kualitas dan amburadulnya kebijakan-kebijakan (sistem-sistem) pendidikan di negara kita.



Selengkapnya...

Terima Kasih Atas Kunjungan Anda. Silahkan Tinggalkan Komentar, Kritik dan Sarannya

  © Blogger templates Shiny by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP