Senin, 04 Mei 2009

PPh dan Zakat

PENDAHULUAN

Pajak menurut ahli keuangan adalah kewajiban yang ditetapkan kepada wajib pajak, yang harus disetor kepada negara sesuai ketentuan, tanpa mendapat prestasi kembali dari negara dan hasilnya digunakan untuk kepentingan-kepentingan umum di satu pihak dan untuk merealisir sebagian tujuan ekonomi, sosial, politik dan tujuan-tujuan lain yang ingin dicapai oleh negara pada sisi yang lain.
Zakat menurut ahli fiqh ialah hak tertentu yang diwajibkan Allah SWT tehadap harta kaum muslimin yang diperuntukkan bagi mereka, yang dalam al-Qur’an disebut mustahik, sebagai tanda syukur kepada Allah, sebagai upaya pendekatan diri padaNya, dan untuk membersihkan hartanya.


Pajak penghasilan (PPh) sebelum perubahan perundang-undangan perpajakan tahun 1983 diatur dalam beberapa ketentuan perundangan-undangan atau ordonansi seperti yang dikenal dengan pajak pendapatan orang pribadi yang dipungut berdasarkan Ordonansi Pajak pendapatan Tahun 1984 dan pajak perseroan yang diatur dalam Ordonansi Pajak Perseroan Tahun 1925 serta pajak atas bunga, dividend an royalty yang diatur dalam undang-undang Pajak atas Bunga, Dividend an Royalti tahun 1970.
Selanjutnya sejak tahun 1984 Pajak Penghasilan dipungut berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang pajak penghasilan (PPh). Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 untuk ketiga kalinya diubah pada tahun 2000 dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 yang diberlakukan per 1 Januari 2001 digunakan sebagai Dasar Hukum Pemungutan Pajak Penghasilan merupakan perpaduan dari beberapa ketentuan yang sebelumnya diatur secara terpisah.
Ditinjau dari sudut pandang ekonomi, pajak merupakan penerimaan Negara yang digunakan untuk mengarahkan masyarakat menuju kesejahteraan . Bila ditinjau dari tujuannya, pajak dan zakat memiliki tujuan yang sama, yaitu dalam rangka mensejahterakan masyarakat.

A. PAJAK PENGHASILAN (PPh)
Ditinjau dari sudut pandang ekonomi, pajak merupakan penerimaan Negara yang digunakan untuk mengarahkan masyarakat menuju kesejahteraan. Dapat dikatakan bahwa pajak merupakan motor penggerak kehidupan perekonomian masyarakat.
Tetapi tidak dipungkiri bahwa perekonomian masyarakat memerlukan adanya peran pemerintah di dalamnya. Dan peran pemerintah tersebut akan berjalan lancar bila ada pajak guna membiayai seluruh pergerakan ekonomi walaupun tidak semua pergerakan ekonomi dibantu oleh pajak saja.
Dalam lingkup kehidupannya, manusia hidup bersama-sama dan saling membutuhkan satu sama lain di dalam masyarakat, dimana untuk tataran yang begitu besar terjelma dalam suatu wadah Negara. Dalam organisasi seperti itu dibutuhkan adanya sarana dan prasarana yang mendukung kelangsungan hidup rakyat beserta Negara itu sendiri.
Salah satu prasarana yang dibutuhkan masyarakat adalah prasarana ekonomi. Prasarana ekonomi berkaitan erat dengan pertumbuhan ekonomi suatu Negara. Tanpa pertumbuhan ekonomi, Negara tidak dapat meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Demikian pula, tanpa pajak serta kesadaran membayar pajak pemerintah tidak dapat meningkatkan prasarana ekonomi.


a. Sejarah Pajak Penghasilan (PPh)
Pajak penghasilan sebenarnya sudah ada sejak zaman Romawi Kuno, antara lain dengan adanya pungutan yang bernama tributum yang berlaku sampai dengan tahun 167 SM. Pengenaan pajak-pajak penghasilan secara eksplisit diatur dalam suatu Undang-undang sebagai Income Tax, baru ditemukan di Inggris pada tahun 1799. Di Amerika Serikat, pajak penghasilan untuk pertama kali dikenal di New Plymouth pada tahun 1643, dimana dasar pengenaan pajak adalah " a person's faculty, personal faculties and abilitites", Pada tahun 1646 di Massachusett, dasar pengenaan pajak didasarkan pada "returns and gain". “Tersonal faculty and abilities" secara implisit adalah pengenaan pajak pengahasilan atas orang pribadi, sedangkan "Returns and gain" berkonotasi pada pajak penghasilan badan. Tonggak-tonggak penting dalam sejarah pajak di Amerika Serikat adalah Undang-Undang Pajak Federal tahun 1861 yang selanjutnya telah beberapa kali mengalami tax reform, terakhir dengan Tax Reform Act tahun 1986. Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan (tax return) yang dibuat pada tahun 1860-an berdasarkan Undang-Undang Pajak Federaltersebut telah dipergunakan sampai dengan tahun 1962.
Di Indonesia sendiri, sejarah PPh dimulai dengan adanya tenement tax (huistaks) pada tahun 1816, yakni sejenis pajak yang dikenakan sebagai sewa terhadap mereka yang menggunakan bumi sebagai tempat berdirinya rumah atau bangunan. Pada periode sampai dengan tuhun 1908 terdapat perbedaan perlakuan perpajakan antara penduduk pribumi dengan orang Asia dan orang Eropa, dengan kata lain, bahwa terdapat banyak perbedaan dalam perlakuan perpajakan. Tercatat beberapa jenis pajak yang hanya diperlakukan kepada orang Eropa seperti "patent duty". Sebaliknya, business tax untuk orang pribumi. Di samping itu, sejak tahun 1882 sampai tahun 1916 dikenal adanya Poll Tax yang pengenaannya berdasarkan status pribadi, pemilikan rumah dan tanah.
Pada tahun 1908 terdapat Ordonansi Pajak Pendapatan yang diperlakukan untuk orang Eropa, dan badan-badan yang melakukan usaha bisnis tanpa memperhatikan kebangsaan pemegang sahamnya. Dasar pengenaan pajaknya penghasilan yang berasal dari barang bergerak maupun barang tak gerak, penghasilan dari usaha, penghasilan pejabat pemerintah, pensiun dan pembayaran berkala. Tarifnya bersifat proporsional dari 1%, 2% dan 3% atas dasar kriteria tertentu.
Selanjutnya, tahun 1920 dianggap sebagai tahun unifikasi, dimana dualistik yang selama ini ada, dihilangkan dengan diperkenalkannya General Income Tax yakni Ordonansi Pajak Pendapatan yang diperbaharui tahun 1920 yang berlaku baik bagi penduduk pribumi, orang Asia maupun orang Eropa. Dalam Ordonansi Pajak Pendapatan ini telah diterapkan asas-asas pajak penghasilan yakni asas keadilan domisili dan asas sumber.
Karena desakan kebutuhan dengan makin banyaknya perusahaan yang didirikan di Indonesia seperti perkebunan-perkebunan, pada tahun 1925 ditetapkanlah Ordonansi Pajak Perseroan tahun 1925 (Ordonantie op de Vennootschapbelasting) yakni pajak yang dikenakan terhadap laba perseroan, yang terkenal dengan nama PPs (Pajak Perseroan). Ordonansi ini telah mengalami beberapa kali perubahan dan penyempurnaan antara lain dengan UU No. 8 tahun 1967 tentang Penisbahan dan Penyempurnaan Tatacara Pemungutan Pajak Pendapatan1944, Pajak Kekayaan 1932 dan Pajak Perseroan tahun 1925 yang dalam praktek lebih dikenal dengan UU MPO dan MPS. Perubahan penting lainnya adalah dengan UU No. 8 Tahun 1970 dimana fungsi pajak mengatur/regulerend dimasukkan ke dalam Ordonansi PPs 1925., khususnya tentang ketentuan "tax holiday". Ordonasi PPs 1925 berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 1983, yakni pada saat diadakannya tax reform, Pada awal tahun 1925-an yakni dengan mulai berlakunya Ordonansi Pajak Perseroan 1925 dan dengan perkembangan pajak pendapatan di Negeri Belanda, maka timbul kebutuhan untuk merevisi Ordonansi Pajak Pendapatan 1920, yakni dengan ditetapkannnya Ordonasi Pajak Pendapatan tahun 1932 (Ordonantie op de Incomstenbelasting 1932, Staatsblad 1932, No.111) yang dikenakan kepada orang pribadi (Personal Income Tax). Asas-asas pajak penghasilan telah diterapkan kepada penduduk Indonesia; kepada bukan penduduk Indonesia hanya dikenakan pajak atas penghasilan yang dihasilkannnya di Indonesia; Ordonansi ini juga telah mengenal asas sumber dan asas domisili.
Dengan makin banyak perusahaan-perusahaan di Indonesia, maka kebutuhan akan mengenakan pajak terhadap pendapatan karyawan perusahaan muncul. Maka pada tahun 1935 ditetapkanlah Ordonansi Pajak Upah (loonbelasting) yang memberi kewajiban kepada majikan untuk memotong Pajak Upah/gaji pegawai yang mempunyai tariff progresif dari 0% sampai dengan 15%. Pada zaman Perang Dunia II diperlakukan Oorlogsbelasting (Pajak Perang) menggantikan ordonansi yang ada dan pada tahun 1946 diganti dengan nama Overgangsbelasting (Pajak Peralihan). Dengan UU Nomor 21 tahun 1957 nama Pajak Peralihan diganti dengan nama Pajak Pendapatan tahun 1944 yang disingkat dengan Ord. PPd. 1944. Pajak Pendapatan sendiri disingkat dengan PPd. Saja. Ord. PPd. 1944 setelah beberapa kali mengalami perubahan terutama dengan perubahan tahun 1968 yakni dengan adanya UU No. 8 tahun 1968 tentang Perubahan dan Penyempurnaan Tatacara Pemungutan Pajak Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932 dan Pajak Perseroan 1925, yang lebih terkenal dengan "UU MPO dan MPS". Perubahan lainnya adalah dengan UU No. 9 tahun 1970 yang berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 1983, yakni dengan diadakannya tax reform di Indonesia . Selanjutnya sejak tahun 1984 Pajak Penghasilan dipungut berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang pajak penghasilan (PPh). Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 untuk ketiga kalinya diubah pada tahun 2000 dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 yang diberlakukan per 1 Januari 2001.



b. Ruang Lingkup Pajak Penghsilan (PPh)
Pajak penghasilan ditinjau dari segi pemungutannya dikategorikan sebagai pajak pusat, tetapi ditinjau dari sifatnya, termasuk pajak subjektif. Jadi, kewenangan pemungutannya berada pada pemerintah pusat dan pengenaannya berdasarkan pada diri orang atau badan yang dikenai pajak. Pajak penghasilan merupakan salah satu pajak langsung, maka beban pajak tersebut menjadi tanggungan wajib pajak yang bersangkutan dalam arti bahwa beban pajak tersebut tidak boleh dilimpahkan kepada pihak lain dengan cara memasukan beban pajak dalam kalkulasi harga jual. Pemungutan Pajak Penghasilan dilakukan secara periodik terhadap kumpulan penghasilan yang diperoleh atau diterima oleh wajib pajak dalam satu tahun pajak.
Pajak Penghasilan merupakan salah satu sumber penerimaan Negara yang berasal dari pendapatan rakyat, dimana pemungutannya telah diatur dengan undang-undang sehingga dapat memberikan kepastian hukum. Pajak Penghasilan sebelum perubahan perundang-undangan perpajakan tahun 1983 diatur dalam beberapa ketentuan perundang-undangan/ordonansi seperti yang dikenal dengan Pajak Pendapatan orang pribadi yang dipungut berdasarkan Ordonansi Pajak Pendapatan Tahun 1944 dan Pajak Perseroan yang diatur dalam Ordonansi pajak Perseroan Tahun 1925, serta Pajak Atas Bangunan, dividen an royalty yang diatur dalam Undang-Undang Pajak atas Bunga, Dividen an Royalti Tahun 1970.
Selanjutnya sejak tahun 1984 Pajak Penghasilan dipungut berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Dalam sejarah perkembangannya pada undang-undang ini dilakukan perubahan pada tahun 1991 dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991, tahun 1994 dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, dan yang terakhir dilakukan perubahan pada tahun 2000 dengan Undang-undang nomor 17 Tahun 2000 .


c. Subjek Pajak Penghasilan
Subjek pajak diartikan sebagai orang yang dituju oleh undang-undang untuk dikenakan pajak. Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subjek Pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam Tahun Pajak.
Pengertian Subjek Pajak meliputi orang pribadi, warisan yang belum terbagai sebagai satu kesatuan, badan dan bentuk usaha tetap, sebagai berikut :
1. Orang Pribadi
Orang pribadi sebagai Subjek Pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia ataupun diluar Indonesia.
2. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggatikan yang berhak
Warisan yang belum terbagi dimaksud merupakan Subjek Pajak pengganti menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris. Masalah penunjukkan warisan yang belum terbagi sebagia Subjek Pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tetap dapat dilaksanakan.
3. Badan
Pengertian badan mengacu pada Undang-undang KUP, bahwa badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha yang meliputi Perseroan Terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama atau bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pension, persekutuan, perkumpulan yayasan, organisasi massa, organisasi social politik, atau organisasi sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap dan badan lainnya. Dalam hal ini termasuk reksadana. BUMN atau BUMD sebagai Subjek Pajak tanpa memperhatikan nama dan bentuknya. Sebagai contoh lembaga atau badan yang dimiliki Pemerintah Pusat atau Daerah yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan untuk memperoleh penghasilan. Khusus masalah perkumpulan sebagai subjek pajak adalah perkumpulan yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan untuk memperoleh penghasilan atau memberikan jasa kepada anggota. Perkumpulan mencakup pula asosiasi, persatuan, perhimpunan atau ikatan dari pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang sama.
4. Bentuk Usaha Tetap
Yang dimaksud dengan bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau badan yang tidak di dirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia. Bentuk usaha tetap ini ditetapkan sebagai Subjek Pajak tersendiri terpisah dari badan. Perlakuan perpajakannya di persamakan dengan Subjek Pajak Badan. Pengenaan Pajak Penghasilan Bentuk Usaha Tetap ini mempunyai eksistensi sendiri dan tidak termasuk dalam pengertian badan.

d. Pengelompokkan Subjek Pajak
Berdasarkan letak geografis subjek Pajak Penghasilan dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri.
1. Subjek Pajak dalam Negeri
Yang dimaksud Subjek Pajak Dalam Negeri adalah :
a. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dar 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
b. Badan yang didirikan atau bertempat tinggal di Indonesia.
c. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak.
Warisan yang belum terbagi yang di tinggalkan oleh orang pribadi sebagai Subjek Pajak Dalam Negeri dianggap Subjek Pajak Dalam Negeri mengikuti status pewaris. Adapun untuk pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakannya, warisan tersebut menggantikan kewajiban ahli waris yang berhak. Apabila warisan tersebut telah dibagi, maka kewajiban perpajakannya berpindah kepada ahli waris.
Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi sebagai Subjek Pajak luar Negeri yang tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, tidak dianggap sebagai Subjek Pajak pengganti karena pengenaan pajak atas pengahasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi dimaksud melekat pada objeknya.

2. Subjek Pajak Luar Negeri
Yang dimaksud Subjek Pajak Luar Negeri adalah :
a. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia.
Bentuk usaha tetap menggantikan orang pribadi atau badan sebagai Subjek Pajak Luar Negeri dalam memenuhi kewajiban perpajakannya di Indonesia. Bagi subjek Pajak Luar Negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, pemenuhan kewajiban perpajakannya disamakan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan bagi subjek Pajak Dalam Negeri.
b. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
Dalam hal penghasilan diterima atau diperoleh tanpa melalui bentuk usaha tetap, maka pengenaan pajaknya dilakukan langsung kepada Subjek Pajak Luar Negeri tersebut.
Perbedaan yang penting antara Subjek Pajak Dalam Negeri dan Subjek Pajak Luar Negeri terletak dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya, antara lain :
a. Subjek Pajak Dalam Negeri dikenakan pajak atas penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dari Indonesia dan dari luar Indonesia, sedangkan Subjek Pajak Luar Negeri dikenakan pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan Indonesia;
b. Subjek Pajak Dalam Negeri dikenakan pajak berdasarkan penghasilan neto dengan tarif umum, sedangkan Subjek Pajak Luar Negeri dikenakan pajak berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif pajak sepadan;
c. Subjek Pajak Dalam Negeri wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan sebagai sarana untuk menetapkan pajak yang terutang dalam suatu tahun pajak, sedangkan Subjek Pajak Luar Negeri tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan, karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final.

3. Tidak Termasuk Subjek Pajak
Subjek Pajak Penghasilan dikecualikan pada hal-hal sebagai berikut :
a. Badan perwakilan Negara asing;
b. Pejabat-pejabat perwakilan diplomatic dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari Negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat bukan warga Negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain diluar jabatan atau pekerjaannya tersebut, serta Negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbale balik;
c. Organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dengan syarat : Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berdasarkan iuran pada anggota;
d. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dengan syarat bukan warga Negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.

4. Kewajiban Pajak Subjektif
Pajak Penghasilan merupakan jenis pajak subjektif yang kewajiban pajaknya melekat pada subjek pajak tersebut, tidak dilimpahkan kepada sunjek pajak lainnya. Oleh karena itu, dalam rangka memberikan kepastian hokum, penentuan saat mulai dan berakhirnya kewajiban pajak subjektif tersebut ditentukan sebagai berikut :
a. Bagi orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, kewajiban pajak subjektifnya di mulai pada saat ia dilahirkan di Indonesia, sedangkan bagi orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia, kewajiban pajaknya dimulai sejak hari pertama orang pribadi tersebut berada di Indonesia atau berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia. Kewajiban pajak subjektif orang pribadi berakhir pada saat meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.
b. Bagi badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kewajiban pajak subjektifnya dimulai pada saat badan tersebut didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia dan berakhir pada saat dibubarkan atau tidak lagi bertempat kedudukan di Indonesia.
c. Bagi orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia (dimulai pada saat bentuk usahatetap tersebut berada di Indonesia) dan kewajiban pajak subjektifnya berakhir pada saat tidak lagi menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia (bentuk usaha tetap tersebut tidak lagi berada di Indonesia).
d. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, dan kewajiban pajak subjektifnya berakhir pada saat tidak lagi menerima atau memperoleh penghasilan tersebut.

e. Bagi warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak, kewajiban pajak subjektifnya dimulai pada saat timbulnya warisan yang belum terbagi tersebut, yaitu pada saat meninggalnya pewaris, sehingga sejak saat itu pemenuhan kewajiban perpajakannya melekat pada warisan tersebut. Kewajiban pajak subjektif warisan berakhir pada saat warisan tersebut selesai dibagi kepada para ahli warisnya, sehingga sejak saat itu pemenuhan kewajiban perpajakannya beralih kepada para ahli warisnya.
f. Apabila kewajiban pajak subjektif orang pribadi yang bertempat tinggal atau yang berada di Indonesia hanya meliputi sebagian dari tahun pajak, maka bagian tahun pajak tersebut menggantikan tahun pajak. Dapat terjadi orang pribadi menjadi Subjek Pajak tidak untuk jangka waktu satu tahun pajak penuh, misalnya orang pribadi yang mulai menjadi Subjek Pajak pada pertengahan tahun pajak, atau yang meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya pada pertengahan tahun pajak. Jangka waktu yang kurang dari satu tahun pajak tersebut dinamakan bagian tahun pajak yang menggantikan tahun pajak.

e. Objek Pajak Penghasilan
Yang menjadi Objek Pajak adalah Penghasilan yaitu setiap Tambahan Kemampuan Ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Objek pajak telah diatur dalam pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 tahun 2000.



f. Dasar Hukum Pajak Penghasilan
Dasar Hukum Perpajakan Untuk Penghasilan :
1. Undang-undang No.17 tahun 2000 tentang perubahan ketiga atas UU No 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
2. Keputusan Dirjen Pajak No. KEP-161/PJ./2001 tentang Jangka Waktu Pendaftaran dan Pelaporan Kegiatan Usaha, Tata Cara Pendaftaran dan Penghapusan NPWP, serta Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
Penjelasan:
a. Yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.
b. Wajib Pajak yang tidak menjalankan usaha, apabila dalam waktu satu bulan memperoleh penghasilan yang jumlahnya telah melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak setahun dan/atau Wajib pajak yang menjalankan usaha wajib mendaftarkan diri untuk mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Apabila anda memiliki penghasilan dari lebih satu sumber yakni dari perusahaan tempat ibu bekerja yang telah dipotong pajak oleh perusahaan dan dari usaha edukasi prasekolah , maka ibu wajib memiliki NPWP, menyampaikan SPT Tahunan Pajak Pribadi dan dalam pelaporan SPT Tahunan untuk pajak pribadi ibu terdapat pajak terhutang yang masih harus dibayar karena penghasilan yang akan ibu laporkan di dalam SPT Tahunan Pajak Pribadi adalah total gabungan penghasilan dari perusahaan dan dari usaha edukasi. Jika ibu telah menikah , maka NPWP diberikan atas nama suami . untuk lebih jelasnya lebih baik anda melakukan konsultasi pajak dengan konsultan pajak atau biro jasa yang bergerak di bidang pajak

g. Saat Pelunasan Pajak Penghasilan
Dengan system self assessment yang digunakan dalam system perpajakan nasional, perlu adanya kepastian yang menetapkan kapan Pajak Penghasilan tersebut harus dilunasi. Ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 138 Tahun 2000 telah menetapkan saat pelunasan pajak dalam tahun berjalan dengan kualifikasi:
1. Melalui Pihak Lain
a. Terhadap pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak-pihak yang melakukan pemotongan PPh Pasal 21 (perhatikan pemotong sebagaimana dimaksud Pasal 21 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan) terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau pada akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.
b. Pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak-pihakyang melakukan pemungutan sebagaimana diatur dalam Pasal 22 Ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan Terutang pada saat pembayaran, kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan.
c. Pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Undang-undang Pajak Penghasilan, terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.
d. Pemotongan Pajak Penghasilan atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan, terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.
2. Langsung oleh Wajib Pajak Sendiri
a. Untuk Wajib Pajak Orang Dalam Negeri yang menerima penghasilan sehubungan dengan pekerjaan dari badan-badan yang tidak wajib melakukan pemotongan, penyetoran dan pelaporan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan, wajib memiliki NPWP dan melaksanakan sendiri penghitungan dan pembayaran Pajak Penghasilan yang terutang dalam tahun berjalan serta melaporkannya dalam Surat Pemberitahuan Tahunan.
b. Pelunasan Pajak Penghasilan melalui pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sendiri yakni angsuran Pajak Penghasilan dalam tahun pajak berjalan (PPh Pasal 25).
c. Pelunasan Pajak Penghasilan melalui pembayaran pajak oleh Wajib Pajak atas penghasilan-penghasilan tertentu yang diatur tersendiri dengan Peraturan Pemerintah, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan.
3. Saat sesudah akhir Tahun Pajak
Pelunasan pajak sesudah tahun pajak berakhir dilakukan apabila jumlah Pajak Penghasilan yang terutang untuk satu tahun pajak lebih besar daripada jumlah kredit pajak untuk tahun pajak yang bersangkutan. Contohnya, PPh Pasal 29 Undang-undang Pajak Penghasilan.

h. Sanksi Pidana
Dalam Pasal 39 Undang-undang No. 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (KUP) dinyatakan bahwa seseorang dengan sengaja tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara, diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 6 tahun dan denda setinggi-tingginya 4 kali jumlah pajak yang terutang atau kurang dibayar.

i. Peraturan Pemerintah Tentang Penghitugan Penghasilan Kena Pajak
PP Nomor 138 Tahun 2000 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan mengatur pula mengenai pengeluaran dan biaya yang tidak boleh dikurangkan dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap.

B. ZAKAT
a. Pengertian Zakat
Menurut bahasa, zakat merupakan masdar dari Zaka yang berarti berkah, tumbuh, bersih dan baik. Sedangkan menurut Lisan al-Arab, arti kata zaka ditinjau dari sudut bahasa adalah suci, tumbuh, berkah dan terpuji. Dalam istilah fiqh, zakat adalah sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah untuk diserahkan kepada orang-orang yang berhak. Jumlah yang dikeluarkan tersebut disebut zakat karena yang dikeluarkan itu menambah banyak, membuat lebih berarti dan melindungi kekayaan dari kebinasaan dan kesia-siaan, demikian al-Nawawi mengutip pendapat al-Wahidi).

b. Landasan Normatif
Dalam beberapa teks al-Qur’an dan hadis, istilah shadaqah digunakan untuk perintah zakat.(QS 9: 58, 9 : 60, 9:103). Di samping itu, al-Qur’an juga menggunakan dengan kalimat zakat (kalimat zakat disebutkan 30 kali dalam al-Qur’an, 27 kali disebut bersama dengan penyebutan ayat tentang shalat).
Qadli Abu Bakar bin Arabi berpendapat bahwa sadaqah berasal dari kata shidq (benar). Benar dalam hubungan dengan sejalannya perbuatan dan ucapan serta keyakinan.
Dengan demikian, sedekah berarti bukti kebenaran iman dan membenarkan adanya hari kiyamat.

c. Fungsi Zakat Bagi Penerima, Individu dan Masyarakat
Zakat merupakan ibadah sosial yang berkaitan erat antara hubungan manusia dengan manusia, yakni antara pemberi dengan penerima, maupun terhadap masyarakat. Fungsi zakat bagi penerima,individu dan masyarakat diantaranya :
• pemberdayaan dari kemiskinan; hadits riwayat Imam Al-Ashbahani bahwa Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya Allaw swt telah mewajibkan atas orang kaya suatu kewajiban zakat yang dapat menanggulangi kemiskinan. Tidak mungkin terjadi fakir menderita kelaparan atau kekurangan sandang kecuali dikarenakan kebakhilan orang kaya muslim. Ingatlah, Allah swt akan melakukan perhitungan yang teliti dan meminta pertanggungjawaban mereka lalu menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih".
• perwujudan kasih-sayang dan tolong-menolong sesama muslim, antara yang kaya (punya kelebihan harta) dan yang miskin (kekurangan harta), sebagai bukti persaudaraan antar mu'min (Q.S. 49:10;9:71).
• manifestasi rasa syukur atas limpahan ni'mat Allah swt yang tak terhitung jumlahnya (Q.S. 14:34), baik lahir maupun batin (Q.S. 31:20), berupa ni'mat iman dan islam (Q.S. 3:164), penglihatan, pendengaran, dan akal pikiran (Q.S. 16:78), istr-istri yang menyenangkan (Q.S. 30:21), rizqi buah-buahan (Q.S. 2:21), dll.
• Pembebas dari kebinasaan (Q.S. 2:195), ketakutan dan kesedihan (Q.S. 2:274).
• Pembersih harta, penyuci dan penenang jiwa (Q.S. 9:103).
• Peneguh kedudukan di muka bumi (Q.S. 22:41).
• Pelipat ganda rizqi (Q.S. 2:261, 265; 30:39).
• Zakat merupakan realisasi kepedulian sosial
• Mencegah atau minimal mengurangi terjadinya penumpukan atau konglomerasi dan perputaran harta di kalangan orang-orang kaya saja (Q.S. 59:7).
• Zakat akan memperkecil kesenjangan sosial
• Zakat mencegah munculnya penyakit hati akibat kecemburuan sosial.
• Insya Allah, bila Zakat suatu negeri benar-benar dikelola dengan profesional dan transparan maka penduduk negeri akan hidup aman-tenteram, sebagai indikasi dibukanya pintu barokah dari langit dan bumi (Q.S. 7:96) dan negeri tersebut menjadi Baldatun Thoyyibatun wa Rabbun Ghafuurun.

C. Pajak dan zakat
Meskipun sistem ekonomi yang islami tidak melarang secara mutlak pemungutan pajak, tetapi pajak merupakan sumber penerimaan negara yang tidak dianjurkan. Selain telah ada zakat, penungutan pajak juga dapat membebani masyarakat sehingga sedapat mungkin dihindari. Akan tetapi, negara kita merupakan negara yang menggunakan sstem ekonomi konvensional, maka dari itu, zakat dijadikan sebagai pengurang pajak merupakan wacana yang sangat menarik.
Pajak menurut ahli keuangan adalah kewajiban yang ditetapkan kepada wajib pajak, yang harus disetor kepada negara sesuai ketentuan, tanpa mendapat prestasi kembali dari negara dan hasilnya digunakan untuk kepentingan-kepentingan umum di satu pihak dan untuk merealisir sebagian tujuan ekonomi, sosial, politik dan tujuan-tujuan lain yang ingin dicapai oleh negara pada sisi yang lain
Zakat menurut ahli fiqh ialah hak tertentu yang diwajibkan Allah SWT tehadap harta kaum muslimin yang diperuntukkan bagi mereka, yang dalam al-Qur’an disebut mustahik, sebagai tanda syukur kepada Allah, sebagai upaya pendekatan diri padaNya, dan untuk membersihkan hartanya.

a. Persamaan Pajak dan zakat
• Unsur paksaan dalam menunaikannya.
• Ada lembaga sebagai pengumpul; pada pajak ada negara dan pada zakat lembaga amil.
• Tidak mendapatkan imbalan sebagai akibat dari mengeluarkan sebagian harta
• Sama-sama memiliki tujuan sosial
• sama-sama memiliki implikasi sosial
b. Perbedaan Pajak dan zakat
1) dari aspek nama dan etikanya
- zakat, tinjauan lafdzi menunjukkan bahwa dikeluarkannya zakat diyakini akan memiliki implikasi pada kesucian harta, dan menjadi sebab bertambahnya nilai harta.
- Pajak, tinjauan lafdzi (bahasa Arab dharibah) menunjukkan bahwa pembayaran pajak berarti melakukan pembayaran upeti. Pada diri seseorang yang telah membayar pajak tidak ada lagi beban upeti.
2) dari aspek hakikat
• Zakat ditunaikan dalam rangka memenuhi tuntutan Allah SWT, ia dibayar untuk tujuan ibadah, mendekatkan diri pada Allah dan dalam rangka mencari keridlaanNya atas harta yang dikonsumsi.
• Pajak dibayar tidak didasari atas keyakinan akan beribadah dan pendekatan diri pada Allah, ia dibayar semata-mata memenuhi kewajiban yang ditetapkan negara.
3) kadar harta
• Zakat merupakan kewajiban yang ditetapkan oleh Allah, maka segala ketentuan termasuk jumlahnya Allah-lah yang memiliki kewenangan untuk menentukan. Tak seorangpun dapat merubah ketentuan.
• Pajak merupakan kewajiban dari negara, maka negaralah yang memiliki kewenangan menentukan jumlahnya, temasuk negara pula yang mempunyai kewenagan untuk menghapuskannya.
4) kelestarian dan sasaran
• Zakat adalah kewajiban yang bersifat tetap dan terus menerus;
• Sasaran zakat sudah pasti ditetapkan oleh Allah; sedangkan
• Pajak adalah kewajiban pajak sangat tergantung pada negara;
• Sasaran pajak ditentukan oleh negara

D. ZAKAT SEBAGAI PENGURANG PAJAK
Di Indonesia, memang belum ada Peraturan Pemerintah ataupun Undang-Undang yang mengatur zakat bisa mengurangi beban pajak penghasilan. Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) meminta DPR menjadikan zakat sebagai pengurang pajak karena zakat dapat berperan dalam pengentasan kemiskinan. Karena itu, DPR diminta untuk segera mengamandemen UU Pajak Penghasilan (PPh).
Saat ini zakat baru ditetapkan sebagai pengurang penghasilan kena pajak (PKP) dan bukan sebagai pengurang langsung atas pajak. Hal tersebut berdasarkan UU No 17 tahun 2000 tentang amandemen atas UU No 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan (PPh) dan UU No 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat. Kebijakan tersebut dinilai tidak berdampak besar terhadap perkembangan zakat di Indonesia. Padahal, zakat memiliki peran sosial sama seperti pajak. Termasuk berperan pengentasan kemiskinan. Karena itu, zakat sudah selayaknya menjadi pengurang pajak agar masyarakat termotivasi untuk membayar zakat. Dengan demikian, zakat sebagai pengentas kemiskinan dapat berkembang pesat di Indonesia.
Bila pajak dapat dijadikan sebagai pengurang pajak, maka zakat dapat menjadi instrumen pendukung program pemerintah. Hal tersebut dilakukan dengan mendorong pengelolaan pajak untuk kepentingan infrastruktur non sosial. Sedangkan, zakat untuk pengelolaan sosial. Jadi, zakat dikelola untuk kepentingan sosial pengentas kemiskinan dan bencana. Sedangkan pajak, digunakan untuk membangun infrastruktur. berdasarkan hasil pengkajian Baznas, potensi zakat profesi satu tahun di Indonesia bisa mencapai sekitar Rp 32 triliun. Kalau potensi dana zakat tersebut didasari pemerintah dan dikelola dengan baik, maka permasalahan kemiskinan di Indonesia dapat diatasi dengan segera tanpa harus berutang.
Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan (Depkeu) tidak perlu khawatir dengan berkurangnya penghimpunan dana pajak akibat zakat. Sebab, zakat sebagai pengurang pajak telah diterapkan di sejumlah negara dan terbukti tidak berdampak negatif terhadap penghimpunan pajak seperti di Singapura dan Malaysia. Untuk merealisasikan hal tersebut, UU Pajak perlu diamandemen agar zakat dapat menjadi pengurang pajak. Dorongan tersebut dapat dilakukan pemerintah bersama dengan Baznas.

E. KESIMPULAN
Banyak persamaan antara zakat dan pajak, tetapi banyak juga perbedaan yang mendasari keduanya.
SEJAK awal sesungguhnya ajaran Zakat dalam Islam tidak dimaksud lain kecuali sebagai acuan etika sosial untuk Penganggaran Negara (state budgeting), baik pada sektor pendapatan (pemajakan) maupun pembelanjaannya.
Pada hakekatnya, kedunya merupakan usaha dalam mensejahterakan masyarakat, dimana pajak telah diatur oleh pemerintah dan zakat telah diatur oleh Allah SWT guna mengurangi angka kemiskinan pada masyarakat dan memperpendek jarak antara orang kaya dan orang yang kurang kaya.
Di Indonesia, potensi zakat sangat besar. Bila kesadaran masyarakat akan zakat tinggi, maka bukan hal yang mustahil bangsa ini makmur dan sejahtera. Banyak pihak yang berpendapat bila zakat dapat mengurangi pajak penghasilan (PPh), maka kesenjangan sosial akan sedikit teratasi.
Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) mendesak pemerintah agar segera mengamandemen UU Pajak dimana harapannya adalah zakat bisa menjadi pengurang pajak penghasilan (PPh).
Hal ini bukanlah sesuatu yang mustahil, karena pada dasarnya zakat dan pajak memiliki tujuan yang sama yaitu mensejahterakan masyarakat, serta mendorong pergerakan eknomi masyarakat menjadi lebih maju lagi.



DAFTAR PUSTAKA

B. Ilyas, Wirawan, dan Waluyo, Perpajakan Indonesia, Jakarta : Salemba, 2003.

Hendrie, Anto, M.B., Pengantar Ekonomika Mikro Islami, Yogyakarta : EKONISIA, 2003.

Inayah, Gazi, Teori Komprehensif Tentang Zakat dan Pajak, Yogyakarta : Tiara Wacana Yogaya, 2003.

Juanda, Gustian, Pelaporan Zakat Pengurang Pajak Penghasilan, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2006.

Y Sri Pudyatmoko, Pengantar Hukum Pajak, Yogyakarta : Andi, 2004.

http://id.wikipedia.org/wiki/Pajak_penghasilan, diakses tanggal 24 Oktober Jam 08.00. wib

0 komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih Atas Kunjungan Anda. Silahkan Tinggalkan Komentar, Kritik dan Sarannya

  © Blogger templates Shiny by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP